JAKARTA – PT Freeport Indonesia, anak usaha Freeport McMoRan Inc, perusahaan tambang asal Amerika Serikat, dikabarkan telah menolak rekomendasi ekspor yang diberikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Freeport mendapat volume ekspor sebesar 1.113.105 wet metric ton (wmt) konsentrat tembaga berdasarkan Surat Persetujuan Nomor 352/30/DJB/2017, tanggal 17 Februari 2017. Pemberian izin berlaku sejak tanggal 17 Februari 2017 sampai dengan 16 Februari 2018.

“Menurut informasi yang beredar Freeport juga menolak rekomendasi ekspor tersebut,” ujar Ignasius Jonan, Menteri ESDM, Sabtu (18/2).

Menurut Jonan, yang terjadi saat ini PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) telah menyatakan terima kasih atas persetujuan pemerintah mengubah perjanjian kontrak karya menjadi IUPK. Amman Mineral juga telah mengajukan permohonan rekomendasi ekspor No 251/PD-RM/AMNT/II/2017 disertai pernyataan komitmen membangun smelter.

Atas dasar itu Dirjen Minerba telah menerbitkan rekomendasi ekspor No 353/30/DJB/2017 pada Jumat 17 Februari 2017.

Sementara itu, Freeport Indonesia menolak perubahan dari KK menjadi IUPK. Sesuai hasil pembahasan bersama yang melibatkan Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan PTFI, Pemerintah telah memberikan hak yg sama di dalam IUPK setara dengan yang tercantum di dalam KK, selama masa transisi perundingan stabilitas investasi dan perpajakan dalam 6 bulan sejak IUPK diterbitkan.

Sesuai Pasal 169 UU No 4/2009, stabilitas investasi memungkinkan untuk didapatkan. Namun Freeport Indonesia menyatakan tetap menolak IUPK dan menuntut KK tetap berlaku.

Freeport telah mengajukan rekomendasi ekspor melalui surat No 571/OPD/II/3017 tanggal 16 Februari 2017 dengan menyertakan pernyataan komitmen membangun smelter.

Sesuai IUPK yang telah diterbitkan, Dirjen Minerba menerbitkan rekomendasi ekspor untuk PTFI No 352/30/DJB/2017 pada 17 Februari 2017.

Menurut Jonan, pemerintah berharap kabar tersebut tidak benar karena pemerintah mendorong Freeport agar tetap melanjutkan usahanya dengan baik, sambil merundingkan persyaratan-persyaratan stabilisasi investasi, termasuk perpanjangan izin, yang akan dikoordinasi oleh Direktorat Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, dan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangam serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Freeport, lanjut dia, diharapkan tidak alergi dengan adanya ketentuan divestasi hingga 51 persen yang tercantum dalam perjanjian Kontrak Karya yang pertama antara Freeport dan Pemerintah Indonesia, dan juga tercantum dengan tegas dalam PP No 1/2017.

“Memang ada perubahan ketentuan divestasi di dalam Kontrak Karya yang terjadi di tahun 1991, yaitu menjadi 30 persen karena alasan pertambangan bawah tanah,” kata Jonan.

Menurut Jonan, divestasi 51 persen adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan oleh Bapak Presiden, agar Freeport Indonesia dapat bermitra dengan pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta rakyat Papua khususnya, juga ikut menikmati sebagai pemilik tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia.(AT)