JAKARTA – Pemerintah dan PT Freeport Indonesia, anak usaha Freeport McMoran Inc, perusahaan tambang asal Amerika Serikat sepakat menuntaskan perundingan terhadap empat isu utama renegosiasi kontrak paling lambat pada akhir 2017. Penuntasan perundingan akan ditandai dengan exchange agreement yang salah satunya berisi mengenai divestasi 51% saham Freeport.

Tiga isu utama renegosiasi kontrak lainnya adalah perpanjangan masa kontrak 2×10 tahun, kepastian stabilitas investasi melalui kebijakan fiskal serta pembangunan fasilitas pemurnian (smelter)  yang harus rampung pada 2022.

Tony Wenas, Executive Vice President Freeport Indonesia, mengatakan Freeport bersama pemerintah sudah berkomitmen untuk memfinalisasi kesepakatan paling lambat pada akhir  2017 seperti yang diinginkan Pemerintah Indonesia.

“Signifikan kemajuannya, cukup cepat dalam banyak hal. Kita pembicaraannya lebih intens dan terstruktur, lebih mengerucut dalam semua. Mudah-mudahan bisa selesai (Desember),” kata Tony saat ditemui usai menghadiri rapat dengan Komisi VII DPR,  Senin (27/11).

Untuk masalah divestasi, Freeport masih meyakini untuk perhitungan valuasi terhadap nilai divestasi mengikuti harga pasar. Kedua pihak sebelumnya sepakat menunjuk financial advisor untuk menghitung harga pasar wajar tersebut.

Pembahasan negosiasi antara pemerintah dan Freeport dikhawatirkan akan terganjal terutama terkait divestasi lantaran adanya perjanjian antara Freeport-McMoRan  dengan Rio Tinto, perusahaan tambang asal Australia.

Perjanjian tersebut memberikan hak memiliki 40% hasil produksi tambang Grasberg kepada Rio Tinto yang dikelola Freeport Indonesia setelah 2021.

Bambang Susigit, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan pemerintah tidak terpengaruh perjanjian antara Freeport dan Rio Tinto.

“Pemerintah tahunya Desember selesai seluruh kesepakatan yang menyangkut empat isu,” ujar Bambang.

Dia menembahkan kesepakatan tersebut dikejar sebelum izin ekspor sementara konsentrat yang diberikan oleh pemerintah berakhir Februari 2018 mendatang.

“Iya sudah harus (selesai), kalau tidak kan risikonya harus perpanjang rekomendasi ekspor,” tandas Bambang.(RI)