JAKARTA– Wakil Ketua Komisi Energi (VII) Dewan Perwakilan Rakyat Satya W Yudha meminta PT Pertamina (Persero), melalui anak usahanya PT Pertamina EP, selaku kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), tidak mengeluarkan dana apabila ada tuntutan ganti rugi yang diminta penambang liar yang menyerobot sumur minyak milik negara di wilayah kerja Pertamina EP.

“Namanya juga ilegal, aktivitas itu liar. Pertamina atau KKKS lain tak boleh mengeluarkan dana untuk kegiatan ilegal. Yang diperlukan adalah sosialisasi kegiatan penyerobotan dan pengeboran sumur minyak. Itu tugas semuanya, terutama pemerintah dan SKK Migas serta KKKS,” ujar Satya di Jakarta, Rabu (13/12).

Menurut Satya, migas adalah domain pemerintah pusat. Karena itu, segala aktivitasnya, termasuk pengeboran, dilakukan oleh otoritas yang ditunjuk pemerintah pusat, yaitu KKKS. Apabila masyarakat kemudian mengebor, apalagi menyerobot sumur minyak yang ada di wilayah kerja KKKS tanpa persetujuan pemerintah pusat, aktivitas tersebut adalah ilegal.

“Itu yang harus ditindak dan disosialisasikan sehingga masyarakat paham apa yang mereka lakukan. Kalaupun ada dana CSR yang dikeluarkan KKKS, itu bukan berarti pengganti dari kegiatan illegal drilling,” ujarnya.

Pada Selasa (21/11) lalu, Polres Musi Banyuasin dibantu oleh SKK Migas Sumbagsel, Pertamina EP Asset 1 Field Ramba (unit operasional PT Pertamina EP), Satpol Pamong Praja Muba, Komando Distrik Militer Muba, dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sumatera Selatan, menutup 20 sumur minyak milik negara di Mangunjaya, Kecamatan Babattoman, Muba, salah satu wilayah kerja Pertamina EP Asset 1 Field Ramba. Namun, penutupan sumur tersebut mendapat tentangan oknum penambang liar yang tak mau sumurnya ditutup dan stagger (alat bantu untuk mengebor sumur) dirobohkan. Bahkan, sehari setelah penutupan, dua sumur dirusak/dibuka kembali oleh penambang liar. Mereka bahkan menuntut ganti rugi atas modal yang dikeluarkan untuk menambang sumur di wilayah kerja Pertamina EP Asset 1 Field Ramba, selain meminta legalisasi atas kegiatan penambangan.

Satya mengakui, kegiatan penyerobotan dan pengeboran sumur minyak ilegal pasti dibekingi oleh pihak tertentu, baik perusahaan maupun individu, yang memiliki dana. Masyarakat hanya dijadikan pekerja sedangkan keuntungan besar diperoleh penyandang dana. “Tidak ada ceritanya masyarakat kecil yang menggunakan alat complicated, pasti ada oknum,” katanya.

Imam Prihandono, pakar hukum migas dari Universitas Airlangga, Surabaya, menjelaskan kegiatan penambangan minyak secara liar sangat berbahaya. Kerusakan lingkungan dan dampak sosial kemasyarakatan akibat penambangan liar menjadi tanggungjawab pemerintah. “Ini terjadi di banyak kasus penambangan ilegal di Indonesia. Pemerintah membiarkan penambangan liar karena mendapatkan keuntungan tertentu (korupsi),” katanya.

Menurut Imam, sumur minyak yang berada di wilayah kerja KKKS merupakan objek vital nasional sehingga diperlukan penjagaan yang lebih ketat. Namun, aparat kepolisian dan petugas keamanan perlu juga memiliki standar prosedur operasi yang jelas. “Ini terkait dengan kapan mengambil tindakan keras dan penggunaansenjata agar tidak terjadi pelanggaran,” katanya.

Hakim Nasution, pengamat dan praktisi hukum migas, menambahkan pemerintah harus konsisten dalam menerapkan Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Salah satu klausul dalam UU Migas adalah kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas dilakukan oleh perusahaan yang telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah (SKK Migas).

“KKKS yang mengalami persoalan dengan penyerobotan sumur oleh penambang liar terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, khususnya dengan pihak aparat,” ujarnya.

Hakim juga sepakat dengan pernyataan Satya Yudha yang meminta Pertamina tidak perlu memenuhi tuntutan penambang liar yang meminta kompensasi. “Jika tuntutan dipenuhi akan menciptakan preseden buruk dan akan memberikan pesan yang salah kepada para pelanggar lainnya,” kata dia.

Pemerintah Harus Inisiatif

Pakar CSR dari Universitas Padjadjaran Risna Resnawaty menilai sosialisasi bahaya pengeboran minyak secara liar harus paralel dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar tambang. Persoalan ini harus menjadi tanggung jawab bersama. Setiap pemangku kepentingan terkait harus ambilbagian dalam pelaksanan tanggungjawab terhadap masyarakat.

“Pemerintah dalam hal ini harus mengambil inisiatif terbesar. Mengapa pemerintah, sebab penanggungjawab pelaksanaan pembangunan adalah pemerintah. Sementara perusahaan dapat memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuannya,” ujar Risna yang juga Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP Unpad, Bandung.

Menurut Risna, langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah menstabilkan kondisi masyarakat dengan melakukan perencanaan pengembangan terhadap masyarakat yang terkena dampak langsung dari kegiatan pengeboran minyak ilegal. Langkah kedua, implemntasi dengan melibatkan perusahaan. “Intinya, desain pembangunan dan inisiatif harus dibuat oleh pemerintah,” katanya.  (RI/RA/DR)