JAKARTA-Ini sikap tegas yang akan diambil PT PLN (Persero). Bila pengembang pembangkit listrik swasta atau independent power producer (IPP) yang mengembangkan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) tak menuntaskan masalah finansial (financial close) pembangunan pembangkit hingga akhir Maret 2018, PLN akan memutus kontrak power purchase agreement (PPA) yang sudah ditandatangani.

Tohari Hidayat, Kepala Divisi Pengembangan EBT PLN, mengatakan ketentuan tersebut berlaku bagi IPP yang menandatangani PPA pada 2017. Sedikitnya ada 68 IPP yang menandatangani perjanjian dengan PLN pada tahun ini. Sebagian besar IPP tersebut merupakan IPP pembangkit bertenaga air

“Ada 68 IPP yang mesti cari pendanaan dulu. Enam bulan dari Agustus 2017. Ketahuannya Maret,” kata Tohari kepada Dunia-Energi, di Jakarta (21/12).

Menurut Tohari ada sedikit perubahan dalam aturan pemberian tenggat waktu bagi IPP untuk mencari pendanaan. Jika dulu dalam kontrak diberikan waktu satu tahun, sekarang diberikan waktu enam bulan. Kendati demikian, Tohari memastikan ketentuan tersebut sudah melalui kesepakatan kedua pihak antara PLN dan IPP yang dituangkan dalam perjanjian PPA.

“Ini dimaksudkan untuk memastikan kredibilitas IPP dalam membangun pembangkit serta memastikan proyek pembangkit EBT berjalan,” katanya.

Manajemen PLN mengakui salah satu tantangan terberar dalam mengembangkan pembangkit EBT adalah terkait pencarian dana. Akan tetapi jika sudah menandatangani PPA, seharusnya sudah ada solusi yang disiapkan perusahaan tersebut untuk mencari dana.

“Kendala pasti ada tapi kami harap bisa diselesaikan. Kendalanya kan meminjem dana. Kalau meminjam dana punya syarat-syarat. Masing-masing berbeda. Apakah dari indikator keuangannya atau perusahananya kredibel atau tidak,” ujarnya.

PLN membuka diri jika memang ada IPP yang kesulitan pendanaan akan dilakukan evaluasi secara berkala. Jika setelah diberikan waktu ternyata tidak juga menemui titik terang mengenai sumber dan skema pendanaan pembangunan ppembangkit, PLN tidak akan ragu untuk mencari IPP lain yang lebih dianggap mampu.

“Kalau sudah PPA kan kami harapkan terbangun dan masuknya kapan. Kalau tidak jelas, apa jalan terus? Mending cari yang lain,” ungkap Tohari.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral hingga saat ini dari kapasitas pembangkit nasional sebesar 60,15 Gigawatt (GW) Kontribusi EBT hanya sebesar 9 GW. Realisasi tersebut harus ditingkatkan hingga tahun 2025 yakni 36 GW menjadi 45 GW dari total seluruh kapasitas pembangki listrik yang dicanangkan sebesar 135 GW.

Pembangkit EBT yang diandalkan sampai sekarang selain Panas Bumi adalah pembangkit bertenaga air. Porsi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) sekarang masing-masing 5,12 GW dan 0,17 GW. Sementara pada 2025 proyeksi capaian PLTA adalah 17,9 GW dan PLTMH sebesar 3 GW.

Ke 68 IPP yang menandarangani PPA pada tahun ini sendiri memang sebagian besar berasal dari PLTA maupun PLTMH.

Riza Husni, Ketua Umum Asosiasi Pengembang PLTA (APPLTA), menyatakan selama ini belum ada solusi masalah pendanaan bagi para pengembang EBT. Bunga yang terlampau tinggi dari perbankan nasional jelas tidak akan cocok dengan keinginan pemerintah yang mau harga jual listrik dari pembangkit EBT kompetitif.

Sejauh ini bunga yang ditawarkan perbankan nasional untuk para IPP lokal berkisar diatas 10%. Sementara itu, bunga yang sesuai untuk bisa menghasilkan harga kompetitif adalah di bawah 7%.

“Di Indonesian bunga 11% paling murah untuk swasta. Pemerintah tutup mata. Mau tekan harga energi air dengan asumsi bunga 3%. Akibatnya buat pengusaha lokal jadi tidak menarik,” kata dia kepada Dunia-Energi.

Dia pun membeberkan hingga sekarang banyak IPP yang belum mampu mencapai financial closing. “Sampai saat ini yang ditanda tangani hanya sebatas formalitas. Di bawah sampai hari ini belum serahkan jaminan bank. Belum cari finance yang pasti bank lokal tidak minat dengan tarif itu,” jelas Riza. (RI)