JAKARTA – Penerapan gross split sebagai skema baru dalam kontrak bagi hasil minyak dan gas masih dibayangi inkonsistensi. Beberapa poin regulasi dalam gross split dinilai masih membingungkan karena tidak sesuai dengan regulasi yang dikenal di sektor migas.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat energi dari Universitas Trisakti, mengatakan poin regulasi yang menetapkan aset barang atau peratalan yang digunakan kontraktor dalam melakukan aktivitas produksi migas menjadi milik negara tidak konsisten. Sejatinya biaya pembangunan dan pengelolaan aset sudah dilakukan kontraktor tanpa campur tangan ataupun adanya biaya pengembalian dari pemerintah.

“Dalam hal aset, masih disebut aset hulu milik negara. Ini tidak logis dan tidak konsisten, kalau sudah gross split, aset atau peralatan ya bukan lagi milik negara, tapi milik kontraktor. Kan itu dibiayai sepenuhnya dari investasi mereka tidak direcovery,” kata Pri kepada Dunia Energi. Selasa (24/1).

Hal itulah menurut Pri yang seharusnya menjadi perbedaan mendasar antara skema cost recovery dan gross split. Karena dalam cost recovery semua pembiayaan produksi ditanggung negara, sehingga wajar dikembalikan ke negara.

“Beda dengan PSC yang menggunakan cost recovery, aset menjadi milik negara karena memang di-recovery dari hasil produksi,” kata dia.

Dalam pasal 21 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 8 Tahun 2017 tentang skema bagi hasil gross
split dijelaskan seluruh barang dan peralatan yang secara langsung digunakan dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang dibeli kontraktor menjadi milik atau menjadi kekayaan negara yang pembinaannya dilakukan pemerintah dan dikelola Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas).

Kementerian ESDM sebelumnya menegaskan fasilitas dan infrastruktur yang dibangun dan dibiayai kontraktor dalam pengelolaan suatu lapangan migas akan tetap menjadi milik negara karena dalam mekanisme gross split yang dibuat terdapat komponen biaya yang dapat dikurangkan oleh kontraktor.

“Aset tetap milik negara, kan ada komponen pajaknya bisa didepresiasi komponen yang deductible expenses berapa yang jelas milik negara,” kata Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM saat dikonfirmasi.

Menurut Arcandra, akan terjadi depresiasi nilai aset yang sudah terkompensasi dari pengurangan biaya yang sudah disepakati dalam perhitungan split awal.

“Kan sudah di gross diatas setelah 30 tahun, apa masih ada valuenya? Itu kan sudah dipakai oleh mereka (kontraktor),” kata dia.

Arcandra menambahkan nantinya kontraktor tidak perlu susah-susah melakukan pemulihan terhadap wilayah atau lapangan migas yang sudah selesai hak pengelolannya karena itu akan dilakukan pemerintah. Kontraktor tetap akan diwajibkan untuk menanggung biaya abandonment site restoration (ASR).”Yang jelas ASR kontraktor yang menanggung,” tandasnya.(RI)