JAKARTA – Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya di upacara pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-3 Belt Road Forum (BRF) di Great Hall of The People, Beijing, Tiongkok, menyebutkan bahwa sinergi belt and road initiative (BRI) perlu diperkuat seiring dengan satu dekade berjalannya inisiatif tersebut. Dalam pidatonya, Presiden menegaskan agar BRI harus berlandaskan prinsip kemitraan yang setara dan saling menguntungkan, sistem pendanaan yang transparan, penyerapan tenaga kerja lokal serta pemanfaatan produk dalam negeri. Presiden Jokowi juga merencanakan untuk mensinergikan pembangunan ibu kota baru, transisi energi dan hilirisasi industri dalam kerjasama BRI.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), yang turut hadir pada acara tersebut mengemukakan baik pemerintah Tiongkok maupun Indonesia perlu mempertegas komitmen pengembangan energi terbarukannya untuk mempercepat transisi energi melalui kerangka Belt and Road Cooperation. Tidak hanya itu, komitmen tersebut harus terangkum pada strategi dan program jangka menengah maupun jangka panjang sehingga dapat menarik lebih banyak dukungan teknologi dan pendanaan transisi energi

“Transisi energi Indonesia memerlukan pendanaan US$100 miliar hingga 2030, dan US$1 triliun hingga 2060. Selain itu kita harus membangun 35 hingga 40 GW kapasitas energi terbarukan, mengakhiri operasi 9 GW PLTU, membangun ribuan kilometer transmisi dan interkoneksi, serta energy storage hingga 2030. Oleh karena itu, kerja sama transisi energi Indonesia dan Tiongkok seharusnya fokus untuk mencapai target-target ini. Area lain yang penting adalah menghijaukan (greening) proses ekstraksi mineral pada program hilirisasi Indonesia, yang banyak melibatkan pelaku usaha dari Tiongkok. Kami berharap adanya satu program komprehensif,” ujar Fabby, (18/10).

Pada rangkaian BRI ketiga ini pula, IESR diundang oleh Kementerian Ekologi dan Lingkungan Hidup Republik Rakyat Tiongkok, untuk mendukung peluncuran Green Investment and Finance Partnership (GIFB) bersama dengan Pemerintah Hong Kong, Bank Pembangunan Nasional Tiongkok, Sino Hydro Corporation, China International Capital Corp dan Children’s Investment Fund Foundation. GIFP merupakan inisiatif kolaboratif untuk membangun fasilitas perencanaan proyek yang membantu meningkatkan kesiapan proyek-proyek pembangunan hijau Tiongkok di luar negeri.

“Indonesia dapat memanfaatkan GIFP ini untuk mempersiapkan pipeline proyek energi terbarukan, menstrukturkan pendanaan dan menurunkan risiko proyek dalam rangka mempercepat transisi energi di Indonesia,” jelas Fabby.

Fabby menuturkan kerjasama BRI dapat menjadi strategi untuk pengembangan proyek percontohan energi terbarukan berskala besar. Seiring dengan meningkatnya proyek energi terbarukan skala besar, maka akan menjadi peluang untuk menggerakkan industri manufaktur energi terbarukan lainnya.

Selain pengembangan energi terbarukan, Pemerintah Indonesia dan Tiongkok dapat pula membicarakan upaya intervensi PLTU batubara di Indonesia yang didukung oleh pengembang Tiongkok dengan total kapasitas 7,6 GW, dengan rincian 3,8 GW yang sudah beroperasi, 2,9 GW dalam tahap konstruksi dan 0,9 GW yang sudah ditandatangani Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL)-nya.

“Dari kajian IESR, minimal 9,2 GW PLTU perlu dipensiunkan dekade ini dan membangun energi terbarukan sebagai penggantinya untuk mendukung upaya penurunan emisi yang sesuai Persetujuan Paris. Kemitraan Indonesia dan Tiongkok ke depannya perlu mengeksplorasi bagaimana memfasilitasi pemilik aset 7,6 GW PLTU dari Tiongkok dengan PLN dan pelaku bisnis Indonesia untuk mendiskusikan cara untuk mempensiunkan aset PLTU atau bahkan langsung menggantinya dengan energi terbarukan,” ujar Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR.(RA)