JAKARTA – Transisi energi dari berbasis fosil menuju energi baru terbarukan (EBT) dinilai sebuah keniscayaan. Namun, akselerasi pengembangan EBT di Indonesia membutuhkan insentif dari pemerintah agar dapat bersaing dengan sumber energi fosil. Hal ini terungkap dalam pada webinar bertajuk “Collaboration to Accelerate Investment, Innovation and Technology in the Energy and Mineral Resources Sector” yang digelar Energy and Mining Editor Society (E2S), Senin (12/4).

Rosan P Roeslani, Ketua Umum Kadin Indonesia, mengatakan biaya pembangkitan EBT terus turun dari tahun ke tahun. Ditambah lagi potensi EBT di Indonesia sangat besar, seperti panas bumi, angin dan air. “Transisi energi merupakan sebuah keniscayaan, namun dibutuhkan insentif dari pemerintah,” kata Rosan.

Indonesia menargetkan mencapai bauran EBT sebesar 23% atau 24 GW hingga 2025. Namun hingga 2020 realisasi bauran EBT baru 11.2% atau 10.6 GW,

Rosan mengatakan pemerintah berusaha secara bertahap menekan defisit migas dengan melakukan bauran energi dari batu bara ke EBT. Apalagi EBT akan melampaui energi fosil pada 2050.

Ego Syahrial, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM yang mewakili Menteri ESDM Arifin Tasrif, mengatakan pemerintah terus mendorong pengembangan EBT. “Saat ini masih disiapkan rancangan Perpres pembelian tenaga listrik EBT,” kata Ego.

Purnomo Yusgiantoro, Menteri ESDM Periode 2000 – 2009, menyatakan transisi energi terkait erat dengan dua faktor, yaitu teknologi dan keekonomian. Purnomo mengindikasikan biaya pembangkitan EBT masih kurang bersaing dibanding biaya pembangkitan energi batubara, terutama di wilayah Jawa. “Transisi energi membutuhkan bridging fuel, contohnya gas dan batubara yang menggunakan teknologi ramah lingkungan,” kata Purnomo.

Martiono Hadianto, Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), mengatakan perlunya kolaborasi antarsektor mulai dari sumber daya, pendidikan, perindustrian, perdagangan. “Pendidikan menjadi akar dari penguasaan teknologi dan inovasi,” katanya.

Iwa Garniwa, Rektor Institut Teknologi PLN, menyoroti soal target bauran energi 23 persen pada 2025. Padahal realisasi hingga 2020 hanya 11,2 persen . “Saya perkirakan capaian pada 2025 maksimal tambahannya delapan persen jadi realistisnya 19-20 persen,” kata Iwa..

Sejumlah pelaku industri berbasis batubara sudah mulai menjajaki potensi EBT. Contohnya PT Indika Energy Tbk, yang mempunyai visi mencatatkan 50 persen pendapatan dari non-batubara pada 2025.

PT Indika Energy Tbk. membangun proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di wilayah anak usahanya, PT Kideco Jaya Agung (Kideco), di Paser, Kalimantan Timur. “Aspek keekonomian EBT dan teknologi baterai semakin murah setiap tahun, hal ini dapat mengakselerasi pengembangan EBT,” kata Arsjad Rasjid, Direktur Utama Indika Energy. (RI)