JAKARTA- Harga minyak mentah masih bertahan di atas level US$ 110 per barel kendati pada penutupan perdagangan Kamis atau Jumat (25/3) pagi WIB, Brent untuk pengiriman Mei turun US$ 2,57 atau 2,1% ke level uS$ 119,03 per barel. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman April turun US$2,59 atau 2,3$, ke level US$112,34 per barel.
Di tengah tren harga minyak dunia yang tinggi, Pertamina masih saja mempertahankan harga jual bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax sebesar Rp9.000 per liter yang sudah bertahan sejak lebih dari dua tahun lalu. Padahal, pesaingnya sudah mendongkrak harga sejak awal Maret 2022. Harga BBM dengan kadar oktan 92 itu dijual pesaing Pertamina mulai dari Rp11.900 hingga Rp12.990 per liter.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan dalam kondisi harga minyak mentah dunia yang tinggi, pemerintah seharusnya perlu berpikir logis, realistis, dan konsekuen. Apalagi hamper semua negara di dunia menyesuiakan harga BBM apalagi yang nonsubsidi.
“Dari aspek regulasi, juga jelas bahwa nonsubsidi menjadi kewenangan badan usaha. Jika tidak boleh dinaikkan (harga), sederhana dijadikan saja Pertamax sebagai BBM subsidi,” ujar Komaidi, Jumat (25/3/2022).
Menurut Komaidi, dalam konsep keuangan negara yang bisa diintervensi adalah untuk komoditas subsidi. Untuk komoditas nonsubsidi pemerintah umumnya hanya berhak menetapkan batas atas dan batas bawah untuk harganya, namun tidak pada level menetapkan harganya. Seharusnya pemerintah konsisten dengan regulasi yang ada agar setiap kebijakan yang diambil dipatuhi oleh para stakeholder. “Kalau tidak taat, bisa menjadi preseden yang kurang baik,” katanya.
Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mengatakan masyarakat perlu paham, bahwa Pertamax bukan jenis produk bersubsidi sehingga harga jual bahan bakar minyak (BBM) yang diperuntukkan bagi kalangan mampu tersebut sepenuhnya mengikuti pergerakan harga pasar.
“Kalau memang harganya naik, itu sepenuhnya corporate approach. Tidak bisa diintervensi dan harus dimaklumi semua pihak, termasuk juga Pemerintah,” ujar Tulus dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (24/3).
Apalagi, tambahnya, pemerintah sudah menyatakan bahwa harga keekonomian Pertamax sangat tinggi sehingga dapat dipahami jika BBM jenis tersebut memang perlu penyesuaian.
“Ya memang wajar. Tinggal kemudian, bagaimana penyesuaian tersebut bisa dilakukan dengan baik dan benar, sehingga bisa diterima dengan baik juga oleh masyarakat,” katanya.
Menurut dia, yang harus menjadi perhatian adalah seberapa besar dukungan Pemerintah di lapangan, dalam hal ini, agar Pertamina tidak menjadi pihak yang dipersalahkan jika ke depan, terdapat ketidakpuasan atau tantangan dari masyarakat.
Untuk mengantisipasi risiko tersebut, salah satu opsi yang bisa dilakukan Pemerintah adalah mengalihkan pengumuman kenaikan harga Pertamax dari Pertamina ke Kementerian ESDM.
“Jadi, jangan karena ini corporate approach, lalu Pertamina ditinggalkan dan terjepit di tengah. Pemerintah harus ambil action, misalnya untuk pengumumannya agar Pertamina tidak diserang,” katanya.
Menurut Tulus, jika pemerintah tidak ingin melakukan hal tersebut maka bisa membayar selisih antara harga jual dan harga keekonomian. “Dengan begitu, jadi fair untuk semua,” tegas Tulus.
Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui, harga jual Pertamax di pasaran saat ini sudah terlalu murah bahkan jauh di bawah harga keekonomian. Dengan pergerakan harga minyak mentah dunia mencapai lebih dari US$100 per barrel, Kementerian ESDM memperhitungkan bahwa harga keekonomian Pertamax saat ini berada di level Rp14.526 per liter. Padahal, Pertamina sendiri masih menjualnya di kisaran harga Rp9.000 hingga Rp9.400 per liter. (RA)
Komentar Terbaru