JAKARTA – Dana tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR) kontraktor kontrak kerja sama dibawah naungan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) hingga akhir 2018 diperkirakan akan terserap 70%-80% dari total anggaran US$39 juta atau sekitar Rp 569 miliar (kurs Rp14.600 per dolar AS). Penyerapan dana CSR hampir sama dengan periode dua tahun terakhir.

“Pada 2016 dari alokasi US$33,4 juta, terserap US$25,8 juta. Pada tahun lalu terserap US$23,9 juta dari alokasi US$34 juta. Tren-nya tahun ini hampir sama,” ujar Bambang Dwi Djanuarto, Lead External Relation SKK Migas saat diskusi bertajuk “Berbagi Pengetahuan dan Strategi Liputan Bidang CSR Sektor Migas di Jakarta, Selasa (2/10).

Menurut Bambang, kendala penyerapan anggaran lebih ke soal teknis. Misalnya, program-program CSR yang ditunda akibat ketidaksiapan masyarakat penerima program.

Saat ini penggunaan sisa anggaran CSR yang tidak terserap masih dibahas antara SKK Migas dengan Komisi Energi DPR. DPR meminta sisa anggaran yang tidak terserap digunakan di luar daerah operasi.

Apalagi aturan yang ada hanya menyebutkan dana CSR diutamakan untuk daerah operasi.

“Tapi saat ini masih belum diputuskan. Kalaupun tidak dipakai tidak apa-apa, kami kan tidak harus membayar cost recovery-nya,” kata Bambang.

Saat ini dasar pelaksanaan CSR di sektor hulu migas adalah ISO 26000.

Pemberitaan

Bambang mengatakan dalam industri hulu migas, penting untuk memberitakan CSR. Ada dua persoalan jika berita CSR tidak ada, yakni dana tidak dikasih atau ekspure yang kurang. “Percuma, CSR-nya tumbuh, masyarakatnya bagus. Tapi tidak diberitakan,” kata dia.

Azis Husaini, Editor Desk Energi Koran Kontan, mengatakan pemberitaan CSR umumnya searah, terkesan kebaikan semata. “Tidak ada unsur kebaruan. Jadi berita CSR sulit tayang di media,” kata dia.

Menurut Azis, seharusnya dalam peliputan CSR digali ke masyarakat penerimaan CSR sehingga berita CSR menjadi menarik. Dampak ekonomi ke masyarakat penerima akan memunculkan sisi-sisi humanis.

Selain itu, dalam peliputan CSR perusahaan, jurnalis tidak dibawa atau diberi akses ke masyarakat nonpenerima. Ini akan membuat berita CSR menjadi satu arah dan tidak ada daya kritik. “Ini membuat berita CSR juga tidak akan dibaca,” ujar dia.

Rio Indrawan, Wartawan Senior Dunia-Energi, mengatakan berita CSR, berbeda tipis dengan iklan. Hal itu membuat sebagian wartawan terkesan enggan mendapat penugasan liputan CSR.

“Data terbatas sehingga penulis sulit mengeksplor berita. Di media manapun, berita CSR, dan rilis, pasti sulit tayang,” tandas Rio.(AT)