JAKARTA – Kenaikan harga minyak dunia dinilai bisa menjadi momentum menggunakan bahan bakar minyak (BBM) berkualitas tinggi. Manfaatnya pemakaian BBM dengan nilai Research Octane Number (RON) tinggi ini sangat besar, untuk menciptakan udara lebih bersih sehingga lingkungan menjadi lebih sehat.

“BBM berkualitas memiliki nilai fuel economy lebih baik sehingga jika digunakan akan memiliki jarak tempuh yang lebih jauh,” kata Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), di Jakarta, Minggu (13/3).

Menurut Ahmad, masyarakat juga harus memperhatikan fuel engine requirement. Artinya, pengisian BBM harus melihat persyaratan kualitas BBM yang ditentukan oleh produsen kendaraan bermotor.

Dia menjelaskan pada kendaraan berbahan bakar bensin, dengan konsekuensi penerapan standar Euro 2, semua varian sepeda motor dan mobil memiliki compression ratio minimal 9:1. Sebagai contoh, sepeda motor kecil sekelas Honda Scoopy memiliki compression ratio 9,2:1. Kemudian mobil LCGC dan MPV kelas 1.500 cc ke bawah memiliki compression ratio 10:1. Sedangkan mobil kelas menengah 11:1, mobil mewah 11:1 atau 12:1.

“Kendaraan dengan compression ratio 9:1 membutuhkan bensin dengan RON minimal 91. Sedangkan kendaraan dengan compression ratio 10:1 ke atas membutuhkan bensin dengan RON minimal 95,” katanya.

Jika dipaksakan menggunakan mengonsumsi BBM berkualitas rendah, lanjut Ahmad, kendaraan akan ngelitik (knocking) dengan beberapa konsekuensi. Pertama, mobil menjadi tidak bertenaga karena bensin dengan RON lebih rendah dari kebutuhan mesinnya (engine requirement) akan terbakar oleh kompresi piston di ruang pembakaran mesin (self ignition) tanpa didahului percikan api busi.

Kedua, self ignition akan menyebabkan bensin lebih boros sekitar 20% karena terbakar percuma tanpa menghasilkan tenaga sehingga untuk menempuh jarak tertentu membutuhkan bensin lebih banyak. Ketiga, dengan borosnya bahan bakar maka hal ini akan meningkatkan emisi baik emisi rumah kaca (CO2) maupaun emisi pencemaran udara seperti PM, HC, CO, NOx, Sox. “Belum lagi terjadinya detonasi yang menyebabkan keretakan piston, kerusakan ring-piston, busi, dan lain-lain karena efek self ignition,” katanya.

Pada kendaraan berbahan bakar solar, tambah Ahmad, kendaraan standar Euro 2 membutuhkan BBM dengan kadar belerang maksimal 500 ppm. Sebagai contoh, solar 48 memiliki kadar sulfur rata-rata 1378 ppm (2019).

Menurut dia, jika dipaksakan maka Diesel Particulate Filter (DPF) akan mengalami kerusakan karena sulfur. Dan, karena dikendalikan secara elektronik, kerusakan DPF akan menghentikan fungsi kendaraan secara keseluruhan. “Praktis sejak 2007 tidak ada lagi kendaraan yang membutuhkan bensin dengan RON di bawah 91 dan Solar dengan CN di bawah 51. Selain Bensin maupun Solar harus dengan kadar sulfur tidak lebih dari 500 ppm (Standard 2/II) dan tidak lebih dari 50 ppm sejak Oktober 2018 (standard Euro 4/IV),” ujarnya.

Pada kesempatan terpisah, hasil penelitian Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada (UGM), mengungkapkankan perubahan nilai oktan pada bahan bakar akan mempengaruhi nilai kadar emisi. Bahan bakar dengan bilangan oktan lebih rendah memiliki kadar CO yang lebih tinggi. Seiring meningkatnya RPM dan kecepatan kendaraan, kadar CO juga akan terus meningkat.

“Kalau bicara RON dalam implementasi ke efisiensi mesin, kami yakin pengguna Pertamax tidak akan serta merta beralih ke Pertalite karena akan berdampak ke mesin. Semakin rendah RON akan semakin tinggi emisinya,” ujar Prof Deendarlianto, Ketua PSE UGM, saat diskusi virtual dengan wartawan, Sabtu, (12/3/2022).

BBM jenis Peralite (RON 90) saat ini paling banyak dikonsumsi. Di tingkat nasional, lebih dari 50% pengguna kendaraan bermotor mengonsumsi Pertalite. Selain itu, Pertamina juga menjual beberapa jenis BBM berkualitas seperti Pertamax (RON92), Pertamax Plus (RON 95), dan Pertamax Turbo (RON 98).(RA)