JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang telah diserahkan pemerintah kepada DPR dinilai berpotensi mendegradasi eksistensi kedaulatan negara terhadap pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi (migas).

Juajir Sumardi, Ketua Pusat Studi Hukum Ekonomi dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, mengatakan RUU tersebut juga berpeluang mempertahankan status quo pengusahaan migas oleh Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Menurut Juajir, norma yang terdapat pada Pasal 41A Ayat (2) RUU Cipta Kerja megatur bahwa pemerintah pusat sebagai pemegang kuasa pertambangan dapat membentuk atau menugaskan Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK) sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.

“Jika substansi pasal itu dikaji, maka tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk membentuk BUMNK yang akan melaksanakan kegiatan usaha hulu migas,” kata Juajir, Kamis (14/5).

Tidak adanya kewajiban untuk membentuk BUMNK dimungkinkan oleh adanya frasa “dapat membentuk” yang terdapat pada substansi Pasal 41A Ayat (2) tersebut. Dengan demikian, jika pemerintah nantinya menunda pembentukan BUMNK yang melaksanakan kegiatan usaha hulu migas dengan berbagai alasan dan kepentingan politik, maka berdasarkan Pasal 41A Ayat (2) pemerintah pusat tidak dapat dipersalahkan.

Jika pemerintah ternyata melakukan penundaan atas pembentukan BUMNK, maka berdasarkan Pasal 64A Ayat (1) kegiatan usaha hulu migas tetap dilaksanakan oleh SKK Migas.

Juajir menjelaskan, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 64A Ayat (1) maka terbuka peluang bagi pemerintah pusat (Presiden) untuk melakukan penundaan pembentukan BUMNK dan mempertahankan status quo SKK Migas sebagai Badan/Lembaga yang ditugasi untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Apabila pemerintah tetap mempertahankan status quo SKK Migas sebagai pihak yang mewakili dalam kegiatan usaha hulu migas, berdasarkan pada Pasal 41A Ayat (2) dan Pasal 64A Ayat (1) RUU Cipta Kerja Klaster Energi Minyak dan Gas Bumi, maka
dapat dipastikan bahwa RUU Cipta Kerja telah mendegradasi hakikat kedaulatan negara terhadap pengelolaan sumber daya alam sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945, dan juga tidak memberikan kepastian hukum dalam melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012.

“Perlu dipahami bahwa legal standing dari SKK Migas bukanlah badan hukum yang berstatus sebagai BUMN. Status hukum SKK Migas sebenarnya adalah pemerintah itu sendiri sebagaimana pembentukan SKK Migas berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi,” ujar Juajir.

Dengan legal standing atau status hukum dari SKK Migas sebagai bagian dari badan hukum pemerintah, maka konsekuensi hukumnya adalah tidak adanya pemisahan dan/atau pembatasan tanggungjawab antara SKK Migas dengan pemerintah (dalam hal ini Presiden).

Menurut Juajir, berdasarkan prinsip kesederajatan para pihak dan asas pacta sun servanda di dalam hukum kontrak nasional dan internasional, maka kontrak kerja sama yang dibangun oleh SKK Migas dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) telah mendegradasi hakikat kedaulatan negara, sehingga terbuka peluang pemerintah dapat menanggung risiko pertanggungjawaban atas kontrak-kontrak yang dibuat oleh SKK Migas.

“Bahkan, APBN kita dan asset-asset negara yang ada di luar negeri dapat menjadi pertanggungan atas kerugian yang dialami oleh K3S akibat adanya breach of contract yang dilakukan oleh SKK Migas,” kata Juajir.

Juajir menambahkan, untuk membentuk BUMNK yang baru dengan penugasan melaksanakan kegiatan usaha hulu migas, akan berkonsekuensi pada penyediaan permodalan, sarana dan
prasarana (asset atau equity), serta sumber daya manusia yang professional dengan pengalaman yang panjang. Oleh karena itu, pembentukan BUMNK oleh pemerintah akan menyedot dan/atau menggunakan APBN yang tidak kecil, sehingga dapat pastikan pembentukan BUMN Khusus tersebut berpotensi tertunda dalam waktu yang tidak dapat dipastikan.

“Disinilah akan membuka peluang terjadinya status quo dengan memerankan SKK Migas untuk melanjutkan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi,” ujar Juajir.

Dia mengatakan, untuk menghindari terjadinya pelanggaran terhadap UUD 1945 dan putusan MK, serta memenuhi syarat efisiensi dan efektivitas dalam pengusahaan hulu migas, maka sebaiknya pemerintah menetapkan dan
meningkatkan status hukum PT Pertamina (Persero) menjadi BUMN Khusus yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Pertamina telah memiliki asset, jaringan, teknologi, dan sumberdaya manusia yang berpengalaman panjang sehingga pemerintah pusat tidak harus menguras APBN untuk pendirian BUMN Khusus baru.

“Pemerintah hanya tinggal melakukan restrukturisasi organisasi dan manajemen organsisasi yang berbasis pada prinsip good corporate governance dengan visi menjadikan Pertamina sebagai BUMN Khusus Migas yang handal dan berskala global,” tandas Juajir.(RA)

 

Substansi Pasal 64A Ayat (1) di dalam RUU Cipta Kerja untuk klaster energi minyak dan gas bumi adalah sebagai berikut:

“Sebelum terbentuknya Badan Usaha Milik Negara Khusus:
(a) kegiatan usaha hulu migas tetap dilaksanakan berdasarkan kontrak kerja sama antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap;
(b) kegiatan usaha hulu migas berdasarkan kontrak kerja sama antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap tetap berlaku;
dan
(c) Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi tetap melaksanakan tugas dan fungsi penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi”.