JAKARTA – Presiden Joko Widodo harus segera mengesahkan menerbitkan revisi Perpres No. 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Hal itu lebih penting lantaran wacana kenaikan harga BBM bersubsidi sudah mengemuka di tengah masyarakat.

Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI, mengungkapkan hal itu adalah pilihan yang paling rasional di tengah daya beli masyarakat yang belum pulih benar. “Akibat pandemi Covid-19 serta kenaikan harga barang kebutuhan pokok masyarakat seperti minyak goreng, dll,” kata Mulyanto, Senin (11/7).

Menurut dia kenaikan harga BBM bersubsidi sangat sensitif bagi kenaikan inflasi, terutama dari sektor transportasi dan juga dari sektor bahan pangan pokok.

Selain itu karena ditengarai sekarang ini penyaluran BBM bersubsidi hampir sebanyak 60% tidak tepat sasaran. Belum lagi adanya dugaan kebocoran BBM bersubsidi ke industri dan ekspor ilegal ke negara tetangga.

“Jadi kalau pembatasan dan pengawasan BBM bersubsidi ini dapat dilakukan dengan baik, maka kita bisa menghemat APBN lebih dari 50 persen. Ini kan bagus,” kata Mulyanto.

Presiden tidak perlu membanding-bandingkan harga BBM di Indonesia dengan di negara maju. Namun cukup membandingkannya dengan harga BBM di negeri jiran seperti Brunei dan Malaysia. Harga BBM di negara serumpun seperti Brunei dan Malaysia jauh lebih murah dibanding Indonesia.

“Contoh, harga bensin di Brunei untuk RON 90 sebesar Rp. 3.800,- per liter, dan untuk bensin RON 95 sebesar Rp. 6.900 per liter. Di kita bensin Pertalite (RON 90) dijual dengan harga Rp. 7.650,- per liter.

Untuk itu menurut dia jika Pemerintah peka dan memiliki sense of crisis, maka regulasi terkait pembatasan penggunaan BBM bersubsidi ini, baik solar maupun pertalite, penting untuk segera ditetapkan.

“Beban subsidi yang tidak tepat sasaran, akan jalan terus kalau revisi Perpres dimaksud tidak terbit-terbit. Semakin lama kita menunda pembatasan penggunaan BBM bersubsidi, maka akan semakin lambat efisiensi anggaran dilakukan,” ungkap Mulyanto. (RI)