JAKARTA – Ragam cara dilakukan untuk bisa memenuhi target peningkatan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT), khususnya untuk pembangkit listrik. Terlebih Presiden Joko Widodo baru saja mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK).

Melalui Perpres ini, Indonesia memposisikan diri sebagai penggerak pertama (first mover) penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar di tingkat global menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan. PLN pun menyambut baik regulasi yang akan mendukung operasionalisasi Pasal 6 Perjanjian Paris ini.

Pasal 6 adalah mekanisme dalam Perjanjian Paris untuk memfasilitasi perdagangan karbon generasi mendatang. Mekanisme ini mengajak seluruh negara untuk bekerja bersama mencapai target Nationally Determined Contributions (NDC) mereka dan meningkatkannya seiring dengan waktu.

Salah satu cara yang ditempuh PT PLN (Persero) untuk meningkatkan penggunaan EBT juga dengan melibatkan pelanggannya menuju green energy adalah dengan menjual Sertifikat Energi Terbarukan (Renewable Energy Certificate/REC).

Belum lama diluncurkan ternyata produk REC mendapatkan respon positif dari para pelanggan PLN. Hingga November 2021 berdasarkan data perusahaan tercatat 80 ribu pelanggan yang telah membeli REC dengan total jumlah REC yang terjual mencapai 283 ribu unit.

Realisasi penjualan REC ini tentu cukup menggemberikan, karena menunjukkan kesadaran pelanggan PLN untuk menggunakan EBT sudah terbangun. Di sisi lain, dengan realisasi jumlah unit REC yang terjual tersebut telah menunjukkan kesiapan PLN dalam menyediakan energi yang ramah lingkungan.

REC merupakan instrumen yang merepresentasikan atribut terbarukan dari setiap MWh listrik yang diproduksi oleh pembangkit energi terbarukan. Satu unit REC merepresentasikan satu MWh.

REC yang disediakan PLN membuktikan bahwa energi yang digunakan pelanggan berasal dari pembangkit listrik berbasis EBT yang diaudit oleh sistem tracking internasional, APX TIGRs yang berlokasi di California, USA. Kerja sama ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap REC dapat dipertanggungjawabkan, berkualitas tinggi, dan memenuhi standar internasional.

Bob Saril, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN menjelaskan, REC merupakan salah satu inovasi produk hijau PLN untuk memudahkan pelanggan dalam membeli dan mendapatkan pengakuan internasional atas penggunaan energi terbarukan yang sudah ada di Indonesia. Sehingga pelanggan tidak perlu khawatir untuk bisa mengekspor produknya ke negara-negara tertentu yang sudah membutuhkan ini.

Dia pun memastikan jika PLN akan terus melakukan inovasi produk EBT yang lebih maju guna memenuhi permintaan sektor industri sesuai dengan standar internasional. Seperti produk ramah lingkungan REC, yang akan memungkinkan pelanggan untuk secara langsung mendukung pengembangan proyek energi terbarukan melalui pengadaan energi hijau jangka panjang.

“Tentunya, PLN akan mengalokasikan keuntungan dari REC untuk menambah kapasitas pembangkit energi terbarukan, sehingga dapat memenuhi target Net Zero Emission 2060,” kata Bob belum lama ini di Jakarta.

Melalui REC, PLN menghadirkan opsi pengadaan lain bagi pelanggan untuk pemenuhan target penggunaan energi terbarukan yang transparan dan diakui secara internasional. Dengan demikian pelanggan tidak perlu risau untuk bisa mengekspor hasil produksinya ke negara-negara tertentu yang sudah mensyaratkan hal ini.

REC berhasil mendapatkan penghargaan Asia Awards 2021 dari Renewable Energy Markets (REM) pada Maret 2021. Penghargaan ini merupakan bukti keberhasilan PLN dalam membangun produk layanan hijau serta menunjukkan kepemimpinan dalam Green Energy Program.

Pemerintah menyambut baik berbagai upaya PLN untuk menggenjot pemanfaatan EBT, termasuk REC yang minatnya terus meningkat. PLN siap untuk meningkatkan penjualan REC seiring dengan terus meningkatnya kapasitas pembangkit EBT.

Berdasarkan data perusahaan, hingga November total kapasitas pembangkit EBT mencapai 8.106,77 MW. Terdiri dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dengan kapasitas 2.442,68 MW. Lalu Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 81,26 MW. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang kapasitasnya mencapai 4.877,75 MW. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) mencapai 402,44 MW. Lalu ada Pembangkit Listrik Minihidro (PLTM) berkapasitas 36,35 MW. Kemudian ada PLTB dan PLTBM berkapasitas 266,29 MW.

Sejumlah proyek yang bakal ditawarkan pada tahun 2022, terdiri dari 6 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yakni PLTA Kumbih-3 (45 MW) Lot Sipil, PLTA Kumbih-3 (45 MW) Lot Electro Mechanical, PLTA Hidro Sumatera Kuota Tersebar (90 MW), PLTA Sulbagsel Kuota Tersebar (200 MW), PLTA Bakaru II-Sipil (140 MW), PLTA Bakaru II-Electromechanical (140 MW). Kemudian, satu proyek PLTM yakni PLTM Jawa-Bali dengan kuota tersebar mencapai 15 MW.

Selanjutnya, 7 PLTP meliputi PLTP Ulumbu 5 dan Mataloko 2 & 3 berupa drilling contractor dengan kapasitas 40 MW, serta PLTP Ulumbu 5 dan Mataloko 2 & 3 berupa material supplier dan contractor (40 MW), PLTP Hululais 1 & 2 berkapasitas 110 MW, PLTP Tulehu 1 & 2 (20 MW), PLTP Sulbagut dengan kuota tersebar (5 MW), PLTP Songa Wayua (2X5 MW), PLTP Atadei (2X5 MW).

Proyek lainnya yakni PLTBio Simelue (3 MW), PLTBio Seram (6 MW), PLTBm Halmahera (10 MW), PLTB Timor (2X11 MW), PLTS Sinabang (2 MW), PLTS Sumbawa-Bima (10 MW) serta proyek konversi PLTD menjadi PLTS+BESS berkapasitas total 500 MW.

Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan menyatakan, pemerintah sudah berkomitmen menerapkan transisi ke energi hijau. Untuk itu, Kementerian Keuangan saat ini tengah menyiapkan kebijakan dan instrumen untuk mendukungnya.

“Kalau mau menuju net zero emission 2060 ini tidak bisa tiba-tiba langsung net zero. Kita sekarang harus mulai menandai sektor mana, kegiatan apa, yang menangkap CO2 sehingga nanti netnya zero,” kata Sri Mulyani dalam acara Kompas 100 CEO Forum pada November 2021.

Dia menambahkan, proses transisi energi ini memerlukan strategi yang cukup kompleks, mulai dari instrumen, regulasi, kebijakan, sampai dengan waktu yang harus tepat. Sri Mulyani pun mengingatkan PLN juga perlu menjaga neraca keuangannya.

“Karena PLN itu neraca dibelakangnya ya APBN. Jadi kita juga akan jaga neracanya PLN supaya tetap sehat dalam masa transisi yang sangat krusial ini,” tegasnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun menilai daya saing ekonomi utama Indonesia berada di sektor energi.

“Terlebih Indonesia memiliki sumber energi baru terbarukan yang jumlah dan jenisnya sangat banyak,” ucap Airlangga.

Dalam sisi transisi energi, pemerintah juga saat ini sedang menyiapkan sebuah paket untuk memensiunkan PLTU. Pemerintah sadar ketika energi yang digunakan PLN sudah ramah lingkungan dan pasokan listriknya lebih andal, maka secara tidak langsung akan mendukung sektor industri di Indonesia.

“Apalagi untuk industri tekstil, lebih baik leave it to the PLN, jangan membangun sendiri. Karena itu akan menjadi lebih mahal,” tegasnya.

Laksmi Dhewanthi Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup, menyatakan keberhasilan memenuhi Pasal 6 akan membantu Indonesia mencapai target yang lebih ambisius pada 2030.

“Pasal 6 Paris Agreement dapat mendukung pemenuhan target nol emisi tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Sekaligus meningkatkan target untuk memenuhi tuntutan global menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat,” kata Laksmi. (RI)