JAKARTA – Hasil kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Global Environmental Institute (GEI) yang termuat dalam laporan “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential” memperlihatkan bahwa Indonesia mempunyai potensi PLTS (fotovoltaik)
mencapai 20.000 GWp. Potensi tersebut  lebih tinggi 16 hingga 95 kali dibanding data resmi perkiraan potensi yang dirilis Kementerian ESDM, yaitu 207 GWp (ESDM, 2016).

“Bila potensi teknis tersebut dimanfaatkan, maka diyakini dapat menghasilkan energi listrik sebesar 27.000 TWh per tahun, hampir 100 kali kebutuhan listrik saat ini,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, Kamis (18/3).

Fabby mengatakan, temuan tersebut  menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat besar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Ketersediaan potensi energi surya, yang dikombinasikan dengan teknologi penyimpan energi (storage) dapat memenuhi kebutuhan energi Indonesia dan mendukung transisi energi bersih saat ini dan di masa depan, bahkan mendukung 100% penyediaan listrik dari energi terbarukan.

Selain menunjukkan potensi teknis yang masif, kajian tersebut juga memperlihatkan detail potensi hingga ke level kabupaten dan kota. Dengan menggunakan data geospasial, lahan yang cocok untuk PLTS dapat diidentifikasi.

IESR menilai informasi potensi teknis dan identifikasi lahan ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk merancang kebijakan dan strategi yang lebih agresif dan terarah untuk pengembangan PLTS. Terlebih, saat ini pemerintah tengah merevisi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) untuk merespon melemahnya ekonomi dan menurunnya permintaan energi akibat pandemi Covid-19.

Selain itu, pemerintah juga sedang menyusun Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) (2021-2030) dengan rencana untuk menambah 3,7 GW yang berasal dari gabungan energi terbarukan seperti surya, angin, dan sampah.

Meski demikian, kata Fabby, rasio spesifik untuk PV surya masih belum jelas.

“Dalam banyak kesempatan, Menteri ESDM menyebutkan adanya grand strategy energi nasional pengembangan energi terbarukan yang akan memprioritaskan pemanfaatan energi surya. Hanya saja, berkaca dari RUPTL sebelumnya (2019-2028), PLTS belum menjadi prioritas dalam perencanaan sistem tenaga listrik,” ujarnya.

 

 

 

Data menunjukkan pada RUPTL (2019-2028), PLTS hanya menyumbang 1,6% (908 MW) dari total rencana penambahan kapasitas pembangkit 56,4 GW. Jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan 20 ribu GWp potensi teknis PLTS di Indonesia. Hasil perhitungan yang diperoleh jauh lebih besar (16 hingga 95 kali) dibandingkan dengan estimasi potensi resmi dari pemerintah saat ini.

Daniel Kurniawan, penulis utama kajian “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential”, mengatakan perbedaan hasil yang sangat signifikan dapat dikaitkan dengan perbedaan penggunaan asumsi yang digunakan dalam perhitungan potensi teknis resmi saat ini, dimana perhitungan potensi resmi tersebut masih sangat konservatif.

“Hanya mengkonversi potensi sumber daya energi surya per provinsi (dalam kWh/m2/hari) dengan 15% efisiensi modul yang kemudian dianggap sebagai potensi teknis, seperti yang terdaftar dalam lampiran dokumen RUEN,” kata Daniel.(RA)