JAKARTA – Pemerintah telah memberikan persetujuan Plant of Development (POD) Pertama Lapangan Tuna di Wilayah Kerja (WK) Tuna yang dioperasikan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Premier Oil Tuna BV (23/12).

Perkiraan biaya investasi untuk pengembangan Lapangan Tuna tediri dari investasi (di luar sunk cost) diperkirakan sebesar US$1,050 miliar, investasi terkait biaya operasi sampai dengan economic limit sebesar US$2,020 miliar dan biaya Abandonment and Site Restoration (ASR) sebesar US$147,59 juta.

Untuk mendorong keekonomian Lapangan Tuna memiliki risiko yang tinggi sehingga Pemerintah memberikan juga memberikan beberapa insentif. Dengan masa produksi diperkirakan sampai 2035, maka Pemerintah akan mendapatkan gross revenue sebesar US$ 1,24 miliar atau setara dengan Rp18,4 triliun. Adapun Kontraktor gross revenue sebesar US$ 773 juta atau setera dengan Rp11,4 triliun dengan biaya cost recovery mencapai US$3,315 miliar.

Dwi Soetjipto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), menjelaskan persetujuan POD Pertama Lapangan Tuna menunjukkan bahwa daya saing investasi hulu migas masih menjanjikan dan mampu menarik investor dunia. Menurutnya meskipun lokasi Lapangan Tuna memiliki risiko tinggi, namun dengan dukungan insentif dan fleksibilitas yang diberikan Pemerintah, maka dapat meningkatkan keekonomian lapangan tuna sehingga POD Lapangan Tuna dapat direalisasikan.

“Investasi Lapangan Tuna sangat besar dari sejak proyek hingga operasional sampai economic limit dengan nilai investasi mencapai US$3,070 miliar dolar atau setara dengan Rp45,4 triliun sehingga akan turut memperkuat dan menggerakkan perekonomian nasional. Dengan TKDN hulu migas yang tinggi, yang saat ini mencapai 63%, maka industri nasional di pusat dan daerah akan mendapatkan manfaat besar dari investasi tersebut”, kata Dwi, Senin (2/12).

Lebih lanjut, Dwi menyampaikan bahwa dari sisi penerimaan negara, diperkirakan Pemerintah akan mendapat income hingga mencapai Rp18,4 triliun atau jauh lebih besar dibandingkan potensi penerimaan kontraktor yang sebesar Rp11,4 triliun. “Hal ini menunjukkan pemberiaan insentif untuk meningkatkan keekonomian Lapangan Tuna tetap menempatkan kepentingan negara pada posisi yang tinggi. Bahwa negara harus mendapatkan manfaat terbesar sebagaimana amanah UUD 1945 Pasal 33”, jelas Dwi.

Pengelolaan hulu migas di wilayah perbatasan, seperti di Blok Natuna, tentu tidak hanya bermakna hitung-hitungan ekonomi semata, tetapi juga ada kepentingan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Persetujuan POD Pertama kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan proyek di Lapangan Tuna, maka akan ada aktivitas di wilayah perbatasan yang masuk salah satu hot spot geopolitik dunia. Bendera merah putih akan berkibar di lokasi proyek, aparat keamanan dalam hal ini TNI AL akan turut mengamankan proyek hulu migas sehingga secara ekonomi dan politik, menjadi penegasan kedaulatan Indonesia di wilayah tersebut”, jelas Dwi. (RI)