JAKARTA – Negara anggota ASEAN dapat memperkuat ambisinya dalam pemanfaatan energi terbarukan, dimulai dari pembuatan kebijakan transisi energi yang kuat, untuk menciptakan pasar energi bersih yang stabil dan memperluas peluang investasi yang lebih besar. Selain itu, melalui Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023, Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah untuk mengatasi tantangan pembiayaan pembangunan energi terbarukan di kawasan di antaranya dengan mengoptimalisasi pelaksanaan taksonomi hijau ASEAN dan menciptakan berbagai skema pembiayaan inovatif.

Berdasarkan laporan International Renewable Energy Agency (IRENA), Asia Tenggara memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar dan pada tahun 2050, dua per tiga kebutuhan energi kawasan dapat dipenuhi dengan menggunakan energi terbarukan saja. Tidak hanya itu, energi terbarukan masih menjadi pilihan termurah, dan dengan meningkatkan kapasitasnya, Asia Tenggara dapat meningkatkan 40% dari total energi kawasan pada tahun 2030.

Potensi energi terbarukan yang masif ini perlu dikembangkan segera mungkin untuk mengejar target net zero emission di pertengahan abad sesuai Persetujuan Paris. Namun, IESR mengamati saat ini pengembangan energi terbarukan di Asia Tenggara masih terhambat oleh kesenjangan teknologi, pasar energi terbarukan yang belum siap, dan kurangnya investasi bagi transisi energi.

Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, Marlistya Citraningrum menjelaskan bahwa investasi yang diperlukan untuk transisi energi di ASEAN dalam jangka pendek sampai 2030 mencapai US$987 miliar untuk skenario net-zero 2050, mengutip analisis IRENA yang dilakukan di tahun 2022. Dari angka tersebut, 40%-nya diperlukan untuk pembangkitan listrik, terutama peningkatan penetrasi energi terbarukan.

Citra mengungkapkan pertumbuhan energi terbarukan di Asia Tenggara cenderung tidak konsisten, dengan kerangka kebijakan dan investasi di masing-masing negara yang kurang mendukung atau terus berubah. Sejak Persetujuan Paris ditandatangani, Fair Finance Asia justru mencatat masih terdapat sejumlah besar pembiayaan untuk penambangan batubara dan PLTU dialirkan ke Asia – mencapai US$683 miliar; termasuk ke Indonesia, Filipina, dan Vietnam.
“Untuk percepatan transisi energi dan investasi energi terbarukan di Asia Tenggara, diperlukan upaya-upaya yang lebih terkonsolidasi, misalnya mendorong pasar untuk pembiayaan berkelanjutan regional dengan taksonomi hijau ASEAN, menyediakan fasilitas manajemen risiko pengembangan proyek energi terbarukan, hingga adanya sinergi kebijakan dan peraturan yang memungkinkan tumbuhnya skema-skema pembiayaan inovatif,” ungkap Citra dalam webinar bertajuk “Unlocking Potential Renewable Energy Finance in Southeast Asia”, Rabu(21/6).

Keketuaan Indonesia dalam ASEAN pada 2023 diyakini menjadi peluang bagi pemerintah untuk mendorong investasi energi terbarukan di kawasan serta pembangunan ekonomi berkelanjutan di level global. ASEAN telah terbukti sebagai kawasan yang stabil dan tangguh yang dapat menunjukkan kemajuan dalam integrasi keuangan. Keberadaan taksonomi ASEAN menjadi salah satu langkah nyata negara anggota ASEAN untuk memastikan kawasan ini menarik bagi investor.

“Salah satu poin penting yang perlu disoroti (highlight) dalam taksonomi ASEAN yang terbaru adalah penghentian dini batubara untuk pembangkit listrik. Hal ini bisa menjadi peluang besar bagi negara-negara ASEAN untuk mulai melakukan transisi didukung dengan momentum JETP. Namun, perlu dijaga juga untuk kriteria yang masuk pendanaan hijau,” kara Farah Vianda, Koordinator Pembiayaan Berkelanjutan IESR.

Farah menegaskan, Indonesia perlu mendorong negara-negara anggota ASEAN agar mulai fokus pada upaya dekarbonisasi sistem energinya,termasuk mengatasi rendahnya investasi di sektor energi terbarukan. Berdasarkan pemaparan Menteri Keuangan Sri Mulyani investasi energi terbarukan di ASEAN hanya mencapai US$8 miliar per tahun selama 2016-2021, dibandingkan dengan kebutuhannya sebesar US$27 miliar per tahun guna mendukung ambisi untuk mewujudkan bauran energi terbarukan sebesar 20-30% di tahun 2025.(RA)