JAKARTA – Sepuluh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang dibiayai oleh lembaga keuangan publik (PFA) Korea Selatan (KEXIM, K-Sure, KDB) diprediksi menyebabkan 47 ribu hingga 151 ribu total kematian dini selama 30 tahun pengoperasian pada batas emisi lokal yang ada. PLTU yang didanai Korea Selatan tersebut tersebar di negara-negara Vietnam, Indonesia dan Bangladesh, seperti disebutkan dalam laporan Greenpeace Asia Timur.

“Saat dampak perubahan iklim global semakin serius dari pembakaran batu bara berlebih, Korea Selatan melalui lembaga keuangan publik malah membiayai pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri yang dapat melepaskan polusi udara hingga 33 kali lebih buruk daripada yang dibangun di Korea Selatan,” ungkap Tata Mustasya, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, dalam acara diskusi di Jakarta, Senin (25/11).

Pembakaran batu bara melepaskan partikel polutan yang menembus ke dalam sel darah manusia, dapat merusak setiap organ dalam tubuh. Akibat yang ditimbulkan mulai dari demensia hingga membahayakan anak-anak yang belum lahir. Batu bara juga merupakan kontributor terburuk tunggal untuk krisis iklim global.

Negara-negara yang menjadi tuan rumah PLTU yang didanai oleh Korea Selatan, banyak diantaranya di Asia Tenggara, sangat rentan terhadap dampak polusi udara dan perubahan iklim.

“Pemerintah negara penerima investasi harus melindungi warganya dan planet ini, dengan melakukan transisi cepat dari batu bara ke energi bersih dan terbarukan,” ungkap Tata.

Salah satu pembiayaan Korea Selatan di Indonesia adalah PLTU Jawa 9&10 dengan kapasitas 2 X 1.000 MW, yang berlokasi di Suralaya, Banten. Berdasarkan pemodelan yang dilakukan oleh Greenpeace, jika rencana ekspansi ini tetap dibangun dan beroperasi, diprediksi akan mengakibatkan 4.700 kematian dini selama 30 tahun masa operasi PLTU. Kematian dini tersebut disebabkan oleh berbagai penyakit pernapasan serius akibat debu batu bara yaitu, paru-paru obstruktif kronis, kanker paru, ISPA, diabetes, hingga stroke.

Mari Chang, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Timur, mengatakan bahwa pada 2017 Presiden Moon Jae-In dan pemerintahannya mengumumkan tidak akan mengizinkan PLTU baru di negaranya. Di sisi lain, pemerintah Korea Selatan, antara Januari 2013 hingga Agustus 2019 telah menghabiskan dana 7 triliun KRW (sekitar US$5,7 miliar) untuk PLTU di luar negeri dengan batas emisi yang buruk. Standar ganda ini mengancam ribuan nyawa.

Vietnam diprediksi menjadi negara yang paling terkena dampak yang membawa 38% dari total beban kematian, diikuti oleh Indonesia (29%) dan Bangladesh (20%). Standar ganda batas emisi untuk polutan udara berbahaya memungkinkan PLTU Korea Selatan yang dibiayai di luar negeri mengeluarkan 18,6 kali lebih banyak nitrogen oksida (NOx), 11,5 kali lebih banyak sulfur dioksida (SO2) dan polusi debu 33 kali lebih banyak daripada yang dibangun di Korea Selatan.

Tata menjelaskan, angka kematian dini bisa ditekan jika Indonesia menerapkan standar emisi untuk pembangkit termal yang lebih ketat, atau minimal sama dengan yang diterapkan di Korea Selatan.

“Indonesia harus menghentikan pembangunan PLTU batu bara baru dan secara bertahap menutup pembangkit yang sudah beroperasi. Investasi berstandar ganda ini jelas berpotensi meracuni warga Banten, dan membebani keuangan negara melalui naiknya biaya kesehatan,” tandas Tata.(RA)