JAKARTA – Pemerintah menegaskan percepatan larangan ekspor bijih nikel kadar rendah tepat seiring dengan momentum perkembangan industri hilirisasi nikel dan kendaraan listrik.

Andri Budhiman Firmanto, Kepala Subdirektorat Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral Pada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, menegaskan industri hilirasi di China yang selama ini menjadi tujuan ekspor nikel sudah berkembang pesat teutama untuk kebutuhan pengembangan industri kendaraan listrik. Untuk itu Indonesia harus mengantisipasi perkembangan itu.

“Momentum itu tidak akan pernah balik dua kali. Ketika momentum tepat, pemerintah harus antisipasi. Misalkan bijih kadar rendah masih di ekspor dan industri kendaraan listrik sudah hadir di China, yah jadi momentum itu yang enggak akan dua kali dan harus dipergunakan sebaik-biknya. karena kontribusi dan cadangan kita besar,” kata Andri di Jakarta, Rabu (2/10).

Andri mengatakan selama ini ada anggapan bahwa pelarangan ekspor bijih nikel kadar rendah dapat memepengaruhi neraca perdagangan. Padahal nilai ekspor bijih nikel tidak besar. Justru jika sudah diolah nilainya akan lebih besar.

“Pada faktanya kan dijelaskan kontribusi penjualan bijih kadar rendah ini kan tidak signifikan terhadap neraca perdagangan karena hanya US$ 350 juta. Pastinya ada dampak, tapi tidak sebanding dengan mnfaat yang akan diperoleh kedepannya,” ujar Andri.

Dia menuturkan percepatan larangan ekspor seharusnya tidak masalah bagi para produsen nikel yang sudah terbukti memiliki kemampuan finansial mumpuni. “Tidak mungkin smelter dibangun dengan duit sendiri. Mereka harus berbagi risiko. Pastinya bagi yang serius membangun pastinya sudah financial closure, jadi insentif sweetener itu sebetulnya hanya untuk operasional dalam negeri. Kalau pembangunan smelter dan sudah financial closure, tinggal jalan aja,” jelas Andri.

Dia menambahkan alasan pemerintah melakukan percepatan moratorium ekspor nikel antara lain adalah untuk meningkatkan nilai tambah bagi komoditas nikel. Apalagi, menurut Andri, Indonesia merupakan produsen terbesar nikel ore.

“Perubahan regulasi itu cuman sebagian kecil dari perkembangan peningkatan mutu. Indonesia support 560 ribu ton nikel di seluruh dunia. Terbesar di dunia. Permen 11 itu perlu kiita keluarkan karena momennya pas untuk mendapatkan nilai tambah bagi negara,” ujar Andri.

Menurut Andi, pada 2025 mendatang penggunaan kendaraan listrik di seluruh dunia diprediksi akan melonjak hingga 40%. Apabila Indonesia hanya mengambil bagian sebagai pemasok barang mentah saja, maka hal ini akan merugikan negara kedepannya.

Sri Bimo Pratomo, Kasubdit Industri Logam, Kementerian Perindustrian menuturkan dengan cadangan nikel yang saat ini tercatat mencapai 698 juta ton belum bisa semuanya terserap di Industri dalam negeri. Dia menjelaskan memang saat ini tercatat ada 31 pabrik smleter yang siap untuk menyerap produksi nikel ore. Hanya saja, dari total kapasitas 31 pabrik tersebut hanya bisa menyerap 400 juta ton saja. Hal ini membuat apabila ekspor dibatasi, maka akan terjadi oversupply.

Sri juga menjelaskan saat ini meski sudah ada beberapa rencana pembangunan pabrik baterai untuk mobil listrik namun belum bisa terlihat kontribusinya dalam menyerap nikel ore. “Namun untuk pabrik baterai sendiri, Memang agak jalan di tempat dalam pembangunan untuk bahan baku baterai mobil listrik itu menggunakan teknologi hydro,” kata Sri.(RI)