JAKARTA – Komitmen pemerintah untuk penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dan pencapaian target energi terbarukan, melalui rencana pembangunan jangka panjang dapat mendukung upaya dekarbonisasi ekonomi. Strategi tersebut dapat mencakup aspek sosial ekonomi lingkungan dan institusi kelembagaan.

Namun demikian, kondisi pandemi Covid-19 yang mempengaruhi krisis global juga berdampak signifikan pada kondisi sosial ekonomi nasional. Kontraksi pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,3% hingga Juni 2020 lalu berimbas pada lapangan kerja di Indonesia. Beberapa kajian yang
ada memberi indikasi dampak skala besar seperti ini yang belum pernah terjadi sebelumnya pada ekonomi global mungkin akan membutuhkan waktu pemulihan hingga satu dekade ke depan.

“Pembatasan mobilitas yang berpengaruh pada aktivitas keseharian warga juga berdampak pada industri besar maupun kecil. Hal ini secara langsung berpotensi mengurangi konsumsi bahan bakar, konsumsi listrik yang berarti juga menurunkan konsumsi batu bara, serta emisi GRK yang ditimbulkannya,” ujar Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), dalam diskusi virtual Jumat (23/4).

Seperti yang terjadi di China misalnya, di mana konsumsi batu bara pada enam
pembangkit terbesarnya berkurang 40% dan pada periode tersebut emisi turun hingga 25% (Carbon Brief, 2020). Selain konsumsi sumber daya energi dan emisi GRK, berbagai aktivitas ekonomi juga terhambat, sebagian hingga berhenti beroperasi.

Di samping itu, perkembangan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs) pada 2030 juga sangat terganggu. Kontraksi pertumbuhan ekonomi nasional 2020 lalu hingga 0,6 – 1,7% menimbulkan potensi defisit anggaran hingga seribu trilyun
rupiah. Penanganan krisis pandemi ini membutuhkan realokasi anggaran pemerintah hingga US$50 miliar dari rencana APBN tahun lalu untuk difokuskan pada layanan kesehatan yang mencukupi untuk kebutuhan pandemi Covid-19 dan lainnya, jaminan kesehatan serta mengurangi dampak ekonomi secara luas.

Surya Darma mengatakan salah satu realokasi anggaran APBN terkait antara lain adalah tertundanya beberapa inisiatif ekonomi hijau, seperti pada kesempatan pembiayaan program energi terbarukan 35GW. “Beberapa kajian lain mengindikasikan stimulus fiskal pemerintah Indonesia yang tidak lagi cukup hijau untuk mendukung transisi energi yang berkelanjutan, misalnya penurunan kinerja pembangunan lingkungan yang mendasarinya,” kata Surya Darma.

Namun demikian, di tengah situasi pandemi Covid-19 ini, Kementerian Keuangan tetap berkomitmen pada upaya pemulihan ekonomi hijau (green economic recovery), untuk terus mendorong transformasi ekonomi yang konsisten pada aspek lingkungan berkelanjutan. Komitmen penurunan emisi GRK Indonesia berlanjut terus untuk mencapai situasi nasional yang berketahanan iklim secara komprehensif.

“Strategi penguatan stimulus fiskal pemerintah menjadi sangat penting ke arah pemulihan ekonomi hijau yang dibutuhkan negara ini,” kata Surya Darma.(RA)