JAKARTA – Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak pemerintah Indonesia melakukan transformasi sektor ketenagalistrikan untuk mencapai emisi puncak di 2030 dan netral karbon di 2050. Hal ini sejalan dengan komitmen Presiden Joko Widodo untuk mencapai net-zero emission 2060 atau lebih awal sebagai bentuk tanggung jawab Indonesia mengurangi ancaman pemanasan global.

Berdasarkan data Climate Watch, sektor energi menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. Secara global, sektor tersebut menghasilkan 36,44 gigaton karbon dioksida ekuivalen (Gt CO2e) atau 71,5% dari total emisi. Sementara itu, berdasarkan laporan Ember Climate Indonesia menempati urutan ke-9 penghasil emisi CO2 terbesar dari sektor ketenagalistrikan di dunia, mencapai 193 juta ton CO2 pada 2021. Untuk itu, pemerintah harus mengejar penurunan emisi yang signifikan di sektor energi, khususnya terhadap sektor ketenagalistrikan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyatakan sebagai salah satu negara ekonomi terbesar sekaligus pengemisi terbesar di dunia, Indonesia diharapkan menunjukan kepemimpinan dan komitmen melakukan dekarbonisasi sektor energinya lewat kebijakan dan rencana transisi energi. Komitmen politik Presiden Joko Widodo harus diterjemahkan ke dalam serangkaian kebijakan, regulasi dan rencana yang selaras, satu dengan lainnya.

“Ada indikasi bahwa komitmen politik Presiden Joko Widodo coba untuk dimentahkan dan didegradasi oleh sejumlah pihak yang enggan melakukan transisi energi, dan ujung-ujungnya ingin mempertahankan status quo, yaitu tidak mengurangi konsumsi batu bara dalam penyediaan listrik. Untuk itu, Presiden harus mengamati dengan lebih rinci bahwa ada pihak-pihak yang enggan melakukan transisi energi dengan cepat dan mencoba menurunkan derajat ambisi pemerintah dan melakukan buying time hingga mereka dapat mengubah keputusan politik tersebut,” ujar Fabby, Selasa (20/6).

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi menegaskan, IESR memandang penghentian PLTU batu bara di Indonesia menjadi hal yang penting. Sebagai salah satu penerima komitmen pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia berkomitmen untuk mencapai puncak emisi sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030, dan menaikkan bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan menjadi 34% pada 2030.

“Target yang tercanang di komitmen JETP lebih tinggi dibandingkan kebijakan dan perencanaan yang sudah ditetapkan saat ini. Misalnya saja, target emisi mencakup sektor ketenagalistrikan secara keseluruhan dan juga bauran energi terbarukan yang 10% lebih tinggi dibandingkan dengan RUPTL 2021-2030 milik PLN. Artinya, untuk mencapai target tersebut dalam kurun waktu kurang lebih 7 tahun, perlu transformasi tidak hanya di perencanaan sistem kelistrikan seperti penghentian operasi PLTU batu bara,” ujar Deon.

Dengan asumsi semua pembangkit, termasuk PLTU batu bara, yang direncanakan di dalam RUPTL 2021-2030 terbangun, IESR menghitung untuk mengejar target JETP setidaknya sebanyak 8,6 GW PLTU batu bara harus dipensiunkan sebelum 2030 diikuti dengan pengakhiran operasi 7,6 GW PLTU sebelum 2040. Dari sisi kebijakan, akselerasi pengembangan energi terbarukan dan disinsentif ke investasi untuk pembangkit energi fosil juga perlu untuk terus didorong.

Berdasarkan laporan Delivering Power Sector Transition, IESR menemukan bahwa dari 13,8 GW PLTU yang direncanakan pembangunannya dalam RUPTL 2021-2030 sebanyak 2,9 GW dapat dibatalkan, 10,6 GW perlu diakhiri operasinya secara dini, dan 220 MW dipertimbangkan untuk diganti dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan seperti biomassa. Pembatalan 2,9 GW PLTU merupakan opsi termurah untuk menghindarkan emisi GRK di sektor ketenagalistrikan.

“Dari analisis yang kami lakukan di laporan ini, pembatalan pembangunan PLTU batubara yang dibarengi dengan pensiun dini bagi PLTU dapat membantu mencapai target puncak emisi yang disepakati dalam JETP. Kami memperkirakan ada 5,6 GW PLTU yang harus dipensiunkan sebelum 2030 jika 2,9 GW PLTU dapat dibatalkan pembangunannya,” ujar Akbar Bagaskara, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan.

Berdasarkan kajian IESR yang berjudul Financing Indonesia’s coal phase out: A just and accelerated retirement pathway to net-zero menemukan, penghentian operasi PLTU batu bara bermanfaat dari segi ekonomi dan sosial seperti terhindarnya biaya subsidi listrik yang diproduksi dari PLTU batubara dan biaya kesehatan yang masing-masing berjumlah US$34,8 dan US$61,3 miliar, 2 kali sampai 4 kali lebih besar dari biaya aset terbengkalai (stranded asset), penghentian pembangkit (decommissioning), transisi pekerjaan, dan kerugian penerimaan negara dari batu bara.

“Hingga tahun 2050, diperkirakan akan diperlukan biaya investasi untuk pengembangan energi terbarukan dan infrastruktur pendukung, sebagai pengganti dari PLTU batu bara yang dipensiunkan, sebesar US$1,2 triliun. Dukungan pendanaan internasional tentunya akan dibutuhkan untuk mewujudkan hal ini. Namun, dengan melakukan pensiun dini PLTU dan mengakselerasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia diperkirakan akan ada 168,000 kematian yang bisa dihindarkan hingga tahun 2050,” ujar Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR. (RA)