JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menyatakan bahwa Pemerintah dan DPR RI setuju untuk menaikkan tarif listrik bagi golongan pelanggan di atas 3.000 VA melalui tariff adjustment. Namun hingga kini kebijakan penaikkan tarif listrik bagi golongan pelanggan yang memiliki kemampuan ekonomi itu belum juga direalisasikan.

Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gajah Mada (UGM), menilai Pemerintah masih menghitung dampak kenaikkan tarif listrik terhadap kenaikkan inflasi, yang dikhawatirkan mengganggu momentum pemulihan ekonomi Indonesia pasca pandemi COVID-19.
“Pemerintah mestinya juga harus menghitung dana kompensasi yang dibayarkan kepada PT PLN (Persero) lantaran PLN menjual setrum dengan tarif di bawah harga keekonomian akibat tidak diberlakukan tariff adjumenst,” katanya, Jumat(10/6).

Fahmy menjelaskan, sejak Januari 2017, Pemerintah tidak memberlakukan tariff adjustment sehingga pemerintah harus memberikan kompensasi sebesar selisih pendapatan seharusnya dengan pendapatan sebenarnya. Pada 2021, jumlah kompensasi tarif listrik sudah mencapai Rp 24,6 triliun.

Menurut Fahmy, apabila Pemerintah memutuskan menaikkan tarif listrik bagi gplongan pelanggan di atas 3.000 VA sesungguhnya tidak akan memberikan kontribusi terhadap kenaikkan inflasi secara signifikan, karena proporsinya hanya sekitar 5%. Inflasi akan meningkat jika Pemerintah menaikkan secara serentak golongan pelanggan bisnis dan indsutri, yang proporsinya mencapai sekitar 64%.

“Kalau Pemerintah mempertimbangkan untuk mengendalikan inflasi, maka Pemerintah sebenarnya bisa menaikkan tarif listrik golongan pelanggan di atas 3.000 VA dan menunda kenaikkan tarif listrik golongan pelanggan bisnis dan industri,” ujarnya.

Fahmy menambahkan, pada saat kondisi bisnis dan industri sudah pulih kembali (recovery), pada saat itulah Pemerintah harus menaikkan tarif-listriknya.
“Pasalnya, pelanggan bisnis dan industri merupakan penerima kompensasi terbesar, sehingga dapat meringankan beban APBN untuk alokasi kompensasi listrik,” ujarnya.(RA)