JAKARTA – Sikap pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menarik usulan Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMN-K) untuk menggantikan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dari draf Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja sangat disayangkan. Dalam batang tubuh RUU Cipta Kerja di pasal 41 mengatur beberapa perubahan UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Pemerintah seharusnya sudah menyiapkan konsep kelembagaannya dengan matang, sehingga pembangunan di sektor hulu migas benar-benar dapat dilaksanakan secara optimal.

Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR yang juga anggota badan legislatif (Baleg), mengaku heran dengan pemerintah yang mengusulkan adanya BUMNK, namun belum memiliki detail bentuk BUMNK yang diproyeksi akan mengurus hulu migas Indonesia. Ini membuat pemerintah tidak bisa menjelaskan berbagai pertanyaan dari para anggota dewan tentang tugas dam fungsi BUMNK tersebut sehingga pemerintah justru kembali menarik usulan tersebut.

“Pemerintah yang tidak siap mengenai rumusan definisi, bentuk kelembagaan dan kewenangan BUMN-K. Padahal sudah sejak  2012 keputusan Mahkamah Konstitusi terkait soal ini,” kata Mulyanto kepada Dunia Energi, Rabu (16/9).

Pemerintah mencabut pasal-pasal RUU Cipta Kerja terkait dengan pembentukan BUMN-Khusus, alasannya karena pasal-pasal ini sangat strategis dan berpengaruh secara luas terhadap bisnis hulu migas, sementara Pemerintah belum siap dengan rumusan bentuk dan fungsi BUMN Khusus ini.

Menurut Mulyanto, logikanya, untuk memenuhi amanat MK, harus ada effort khusus revisi UU No. 22/2001 tentang Migas. “Sebenarnya, kalau pemerintah siap, sekarang kesempatan yang baik,” tukas dia.

Mulyanto pun meminta pemerintah segera pikirkan bentuk badan pengganti SKK Migas nantinya karena Indonesia saat ini sudah memiliki Pertamina yang berkontribusi dan menguasai hampir 60% blok migas di tanah air.

Pemerintah perlu melakukan konsolidasi mendalam bagaimana merumuskan kedudukan dan fungsi bila ada dua BUMN di bidang migas, khususnya terkait hulu migas.

“Sebab, 60-70% keuntungan Pertamina secara terkonsolidasi dari anak perusahsaan hulu migas. Nah, kalau ada dua BUMN hulu migas kan perlu pembagian kerja yang jelas,” kata Mulyanto.(RI)