ThorCon International PTE Ltd, perusahaan energi multinasional, berencana menyiapkan pengembangan pembangkit listrik tenaga thorium (PLTT) di Indonesia. Belum lama berselang, ThorCon menjalin kerja sama dengan PT PAL (Persero), badan usaha milik negara di sektor perkapalan untuk mengkaji kemungkinan reaktor Thorium Molten Salt Reactor 500 (TMSR 500) dapat dibangun di Tanah Air.

Bob S Effendi, Chief Representative ThorCon International PTE Ltd, mengatakan founder ThorCon punya latar belakang pembangunan kapal besar, yaitu Jack Devanney, orang pertama yang membangun kapal tanker terbesar di dunia dengan kapasitas 440ribu DWT di Daewoo, Korea Selatan. Beberapa ahli nuklir yang berpengalaman puluhan tahun juga bergabung di ThorCon, termasuk juga bergabung ahli elektronika. Desain reaktor ThorCon juga sudah di-review dan dikaji oleh Argon Lab di bawah otoritas USDOE, Kementerian ESDM-nya Amerika Serikat.

“Dari hasil tiga simulasi Argon Lab terhadap desain ThorCon menemukan bahwasanya angka-angka yang disampaikan ThorCon terverifikasi dan mendekati 98% serta terdaftar di IAEA,” ujar Bob.

Namun, pengembangan PLTT di Indonesia tak semudah membalik telapak tangan. Apalagi masyarakat, dan bahkan para pakar di sektor energi, masih mengkhawatirkan pengembangan pembangkit nuklir di Tanah Air. Padahal, menurut Bob, pengembangan PLTT akan mendukung bauran energi primer di masa depan manakala energi fosil terus berkurang cadangannya.

Apa sebenarnya kendala pengembangan PLTT di Tanah Air? Adakah regulasi tidak mendukung pengembangan energi yang sejatinya ramah lingkungan itu? Bagaimana rencana ThorCon mengembangkan PLTT yang diproyeksikan terus berkembang di sejumlah negara—termasuk negara dengan GDP lebih rendah dari Indonesia itu? Berikut wawancara wartawan Dunia-Energi Dudi R Rukmana, Alfian Tanjung, dan Yurika Indah Prasetianti dengan Bob di kantornya di Gedung World Trade Center, Jakarta Selatan pada Senin (22/7) lalu.

Bisa dijelaskan bagaimana rencana ThorCon mengembangkan PLTT di Indonesia?
Kami akan investasi sekitar US$ 1,2 miliar atau setara dengan Rp 17 triliun untuk membangun pembangkit listrik tenaga thorium (PLTT) dengan kapasitas 2×500 MW, jadi satu unit itu 500 MW. Kami akan biayai secara swasta dan akan kami jual sebagai IPP (independent power producer) dengan target harga sekitar US$ 6-7 sen per KwH yang sekarang kita sedang diskusikan dengan PLN. Selanjutnya, kami juga ingin membangun industri nuklir. Bilamana pemerintah memberikan kesempatan untuk kapasitas terpasang ini, cukup signifikan, pasca 2030 kami akan membangun seluruhnya di Indonesia yang tentunya akan menyerap banyak tenaga kerja kurang lebih 10.000 orang.

Mengapa di Indonesia?
Pertama, banyak orang bertanya kenapa di Indonesia karena pasarnya Indonesia dengan 263 juta orang yang dalam 30 tahun ke depan bisa 300 juta. Ini akan menjadi pasar yang luar biasa. Kedua, Indonesia juga belum memiliki PLTN. Dari lima negara besar, yaitu China, Amerika Serikat, Rusia, India, Indonesia satu-satunya yang belum memiliki PLTN. Itu sebabnya kita melihat Indonesia sebagai peluang pasar yang besar. Pasarnya luar biasa besar.

Kenapa PLTT yang dikembangkan?
Kami melihat tantangan manusia ke depan itu ada dua. Pertama, menciptakan kesejahteraan. Kedua, mencoba menyelematkan bumi terkait climate change. Kita tahu hampir 50% ekonomi dunia digerakkan oleh PLTU batu bara. Kalau itu terus berlangsung, target-target climate change tidak akan tercapai. Kenapa nuklir? Sederhana saja, nuklir adalah satu-satunya pembangkit listrik yang tidak memiliki emisi yang dapat menggantikan batu bara. Artinya, kalau kita bisa mencipakan PLTN yang murah, yang berbahan bakar cair, kita bisa menggantikan PLTU-PLTU tersebut. Kita melihat masa depan peradaban dunia tidak mungkin terjadi tanpa melibatkan nuklir.

Apa sebenarnya keunggulan PLTN dibandingkan pembangkit lain?
Pertama, keselamatan. Banyak orang yang mungkin akan kaget ketika saya bilang kalau keunggulannya nomor satu adalah keselamatan. Bahwasanya PLTN (Pembangkit Lisrik Tenaga Nuklir) itu adalah pembangkit listrik paling aman, banyak narasi-narasi negatif tentangnya. PLTN memiliki tingkat (risiko) kematian paling kecil. Kedua, nuklir memiliki energi densitas paling tinggi, footprint terkecil sehingga tidak membutuhkan lahan besar. Ketiga, tidak ada emisi. Keempat, nuklir adalah pembangkit listrik yang sesungguhnya sangat murah. Memang cost di depannya mahal. Tetapi yang dikembangkan oleh Thorcon bukan PLTN sebagai mana yang sudah beroperasi secara komersial, tetapi PLTN yang berbeda dimana bahan bakarnya tidak berbentuk solid tapi berbentuk cairan. Dengan berbentuk cairan, tidak ada tekanan. Karena tidak ada tekanan, tingkat keselamatannya tinggi sehingga Fukushima maupun Chernobyl tidak akan terjadi. Dan dampaknya, karena tidak ada tekanan dan lainnya, biaya pembangkitan listriknya murah, lebih murah dari PLTU. Bayangkan saja, untuk 1.000 MW kami hanya perlu lahan 20 ha sementara untuk PLTU sekitar 200-an ha, PLTA 500-an ha, dan PLTS 1000 ha.

Alasan pembangunan PLTT di atas laut?
Baru-baru ini kami memang mengadakan kerja sama dengan PT PAL (Persero) untuk mengkaji kemungkinan reaktor Thorium Molten Salt Reactor 500 (TMSR 500) dapat dibangun di Indonesia. Kami lihat potensi itu ada, yang belum ada itu adalah know how atau pengetahuan. Artinya, PT PAL untuk membangun reaktor itu tidak membutuhkan investasi alat ataupun teknologi, yang kita harapkan dari pemerintah adalah semua ini dapat dibangun di Indonesia. Dan tentunya PT PAL adalah BUMN yang terdepan di industri kapal maka dari awal kita libatkan PT PAL. Kami yakin reaktor ini bisa dibangun di Indonesia sehingga kita bisa dapatkan minimum 10% TKDN. Itu adalah awal dari industri, kami ingin tumbuhkan industri nuklir nasional. Ini adalah teknologi kapal biasa. Yang membedakan adalah hanya reaktornya saja. Karena reaktornya tidak bertekanan, dia memiliki ketebalan baja kurang dari 20 milimeter dibanding ketebalan baja PLTN pada umumnya yang sangat tebal sekali sehingga alat-alat di PT PAL itu dapat membuat reaktor ini. Tapi masalah ekonomis atau tidak di PT PAL itu adalah masalah economic of skill, know how, efisiensi sehingga pada waktunya nanti pasti kami yakin bisa.

Bagaimana dengan regulasi, bukankah pengembangan PLTN di Indonesia terganjal belum adanya regulasi yang memadai?
Saya pertegas bahwa tidak ada regulasi yang melarang pembangunan PLTN. Bahkan PLTN dalam UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional itu diamanatkan bahwasanya tahun 2025 PLTN sudah beroperasi di Indonesia. Memang betul adanya klausul opsi terakhir dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang KEN. Tetapi bilama kita baca penjelasan di PP tersebut, sebetulnya tidak dilarang. Dalam penjelasan tersebut bilamana sudah dilakukan kajian multikriteria yang komprehensif, terkait keselamatan dan lainya dan adanya kebutuhan mendesak maka PLTN dapat dibangun. Jadi sesungguhnya tidak ada larangan. Tapi narasi yang beredar saat ini seolah-olah dilarang, seolah-olah tidak ada landasan yang kuat tentang PLTN. Padahal Bapennas dalam Policy Brief No 1 Tahun 2016 mengatakan pembangunan PLTN sudah memiliki landasan hukum yang kuat. Saya rasa pemerintah tidak perlu ragu-ragu karena landasan hukum untuk pembangunan PLTN itu sudah kuat.

Kami sudah ada beberapa kerja sama, antara lain dengan Balitbang Kementerian ESDM di bawah unit P3TEK. Kami sudah melakukan kajian, sudah selesai tengahnya, laporan akhir harusnya akhir Juli 2019 sudah selesai. Dalam kajian di laporan tengah itu yang dikaji adalah regulasi, keselamatan, dan keekonomian. Dari regulasi mereka sudah konklusi bahwa memang regulasinya sudah sangat kuat dan memadai untuk pembangunan PLTN. Dari sisi keselamatan konklusi dari laporan ini, Balitbang ESDM menyampaikan bahwa PLTT yang didesain dengan TMSR 500 dapat dipastikan bahwa kejadian seperti Fukushima maupun Chernobyl tidak mungkin terjadi karena reaktornya tidak bertekanan dan dalam bentuk cair. Dalam reaktor itu sama seperti dalam keran, kalau tidak ada tekanan maka tidak akan terjadi ledakan. Seluruh rentetan kejadian Fukushima itu tidak akan terjadi. Lalu keekonomian, sudah diverifikasi dan validasi bahwa overnight cost kami itu sekitar US$ 3 sen per KWh, karena itu kami mampu menjual listrik di bawah BPP nasional antara US$6-7 sen per KWH. Itulah yang selalu dikatakan Menteri ESDM ataupun Wamen ESDM bahwasanya PLTN mau dibangun harus bisa di bawah BPP nasional. Kami sanggup! Semoga setelah kajian ini selesai di akhir bulan, kajian akan kami kirimkan ke pemerintah, presiden, dan seluruh kementerian-kementerian supaya kita bisa mendapatkan kepastian hukum dan memulai pembangunannya.

Bagaimana dengan kebutuhan thorium untuk mengembangkan pembangkit 2X500 MW itu?
Saya lupa, kalau tidak salah 200 ton untuk 1 tahun. Sumber daya thorium kita cukup banyak, bisa untuk 1.000 tahun. Untuk uranium juga banyak, ada di Kalan, Kalimantan Barat. Tetapi problem untuk uranium adalah walaupun punya banyak sumber uranium, kita tidak bisa memproses uranium itu karena yang bisa kita pakai adalah uranium 235. Nah, di alam itu cuma 0,7%, sedangkan yang di pakai di PLTN itu harus 3-5%. Yang kita pakai 19,7 persen sehingga harus diperkaya. Problemnya, negara-negara yang sudah menandatangani pakta tidak boleh memperkaya uranium karena kalau kita punya fasilitas pengayaan sampai 20% itu boleh, tapi kalau lebih dari 20% itu bisa jadi bom. Jadi tetap walaupun kita punya uranium alam, hanya bisa kita proses sampai yellow cake. Tetapi melalui thorium saya mengusulkan tiga tahapan menuju kemandirian sehingga di tahap ketiga kita sama sekali tidak membutuhkan uranium 235 karena thorium keunggulannya itu tidak bisa memicu atau menembak tapi bisa melahirkan. Thorium bisa melahirkan anak yang namanya uranium 233. Uranium 233 sifatnya bisa “menembak”, tetapi dengan kemampuan yang lebih bagus. Ide kami ke depan adalah mulai membiakkan reaktor tipe pembiakkan seperti membiakkan uranium 233 sehingga kita sama sekali tidak akan membutuhkan 235 yang impor. Ini semua namanya thorium close cycle, siklus tertutup thorium. Di visille-nya, penembak tadi bisa diambil dari 233. Intinya, melalui siklus thorium ini jalur menuju kemandirian energi itu ada. Jalur kemandirian energi ini selalu dilemparkan oleh Dewan Energi Nasional dan Kementerian ESDM. Kalau saya tanya selalu tidak pernah ada yang bisa menjawab bagaimana mencapai kemandirian energi. Di atas kertas saja tidak bisa menjelaskan.

 

Bob S Effendi, Chief Representative ThorCon International. (foto: Yurika ndah Prasetianti/ Dunia-energi)

Bisa Anda jelaskan bagaimana tahapan pembangunan PLTT hingga beroperasi?
Ada dua tahapan, pertama kam akan membangun Test Bed Platform. Ini adalah fasilitas uji, testing dan lainnya. Yang tidak mempergunakan reaksi nuklir, jadi test bed ini isinya reaktor lalu ada exchanger-nya tapi dengan skala lebih kecil dan kita panaskan fuel dengan listrik. Tahapan ini untuk menguji sistem keselamatannya, termohidroliknya dan memvalidasi desainnya. Kami akan simulasikan kejadian di Fukushima secara parsial. Idenya pada saat lakukan test bed itu akan diuji oleh Bapeten. Bilamana lolos dan segala macam uji tersebut, kami baru memulai membangun. Jadi test bed dulu bangun tanpa nuklir. Bilamana lolos baru pada 2023, kami bangun PLTT-nya. Jadi test bed ini rencananya kami bangun 2020 akhir. Inilah yang sedang dikaji PT PAL, yang sudah kita tandatangani tempo hari. PT PAL mengkaji dua hal, yaitu bagaimana bisa membangun reaktor dan test bed. Dari sisi alat dan teknologi mereka memiliki. Yang belum adalah sisi keekonomian, apakah penawarannya sesuai. Kedua, apakah mereka memiliki kemampuannya. Tapi dari sisi alat semua ada. Di akhir tahun ini PT PAL memberikan penawaran kepada kami. Bilamana mereka mampu dan pemerintah memberikan jaminan itu penting sekali karena test bed ini harganya hampir Rp 1 triliun. Jaminan pemerintah itu penting sekali bahwasannya program ini bisa dilanjutkan sampai tuntas, lalu bahsawannya penawaran yang diberikan PT PAL itu kompetitif.

Artinya dalam pengembangan PLTT ini juga perlu kepastian hukum?
Kepastian dari pemerintah ini dalam hal kepastian hukum bisa dalam bentuk Perpres, Inpres, atau bentuk apa yang menjamin kelangsungan program ini sampai beroperasi. Perpres juga bisa conditional, jadi aman. Kami lakukan tes dulu disaksikan seluruh dunia, pemerintah nothing to lose. Ketika lolos uji baru dilakukan ke pembangunan selanjutnya. Kami berharap pemerintah berikan kepastian hukum tersebut. Jika sudah ada kepastian hukum test bed kita bangun di 2020, satu tahun pembangunannya lalu pada 2021 pertengahan dilanjutkan testing satu tahun, 2022 akhir atau 2023 PLTT dibangun di Korea setahun, lalu 2024 ditarik ke Indonesia dan pada 2025 awal dilakukan uji visi sehingga pada 2027 bisa beroperasi. Jadi tes visi akan dilakukan pada 2025. Yang menarik adalah sebelum jadi komersial, commisioning, kami akan melakukan uji yang tidak mungkin dilakukan oleh PLTN lainnya. Kami akan simulasikan kejadian real Fukushima. Kami lalukan Fuskushima sampai tiga rentetan beruntun, beda 3-4 jam. Tiga kejadian ini akan dilakukan bersama. Kami akan perlihatkan dimana tidak akan terjadi kecelakaan, pelepasan, dan lainnya. Walaupun kami akan menghancurkan reaktor ini. Reaktor ini murah jadi bisa kita ganti, kayak reaktor captridge. Kami sudah simulasikan di komputer dan lainnya sehingga kami yakin tidak akan terjadi pelepasan. Testing ini tidak mungkin dilakukan PLTN umumnya karena mereka tertutup. Kalau mereka melakukan ini, sama saja mereka menghancurkan PLTN. Jadi ketika PLTT beroperasi, kami jamin tingkat keselamatannya.

Apa alasan pemilihan PLTT di laut?
PLTT ini bukan floating, kami taruh di dasar laut bisa pada kedalaman 10 meter. Bisa kami taruh di tengah laut atau di pelabuhan masuk ke daratan. Awalnya memang tidak di laut. Waktu 2015 kami coba di darat. Tapi setelah dilakukan diskusi muncul pertimbangan-pertimbangan yang akhirnya kami putuskan di laut. Pertama, karena pengadaan lahan di Indonesia. Kedua, kalau kami bangun di darat, komponen konstruksi sipil akan lebih besar. Konstruksi sipil dengan konstruksi PLTT yang dibangun di Korea itu kan harus klop. Kalau tidak matching, risiko kerugian akan besar sekali. Lalu, persepsi masyarakat kita tahu. Kalau di laut, tidak ada masalah sehingga membuat masyarakat lebih aman. Kalau kita taruh di atas kapal tongkang juga lebih aman, kedalaman cuma 10 meter kami bisa masuk sampai ke pedalaman Kalimantan, sungai Musi dan segala macam itu kedalamannya bisa sampai 20 meter. Itu alasannya.

Adakah kekurangan dari PLTT di laut?
Kekurangannya, biayanya lebih mahal karena biaya steel dan semen pasti mahal steel. Nanti setelah kita operasikan yang pertama, bukan tidak mungkin yang kedua, ketiga , keempat di darat. Jauh lebih murah di darat. Kami operasikan di dasar laut karena regulasi floating itu belum ada. Tapi ketika nanti regulasi floating itu ada, kami bisa melakukan floating. Kapal ini seluruhnya akan di bangun di Daewoo Shipyard & Marine Engineering (DSME) di Korea Selatan. DSME adalah galangan kapal terbesar di dunia, seluruh kapal ini di luar reaktor akan dibangun di DSME. Reaktor komponennya itu cuma 10% dari seluruh kapal ini. Panjang kapal 174 meter dan lebar 66 meter. PT PAL itu sudah kerjasama dengan DSME untuk bikin kapal selam nasional. Pada Mei lalu, kami, PT PAL dan perwakilan pemerintah sudah berkunjung ke DSME untuk memverifikasi. Pertanyaannya apakah ini bisa dibangun di DSME? Mereka memberikan jawaban kepada perwakilan pemerintah yang hadir saat itu, yes bisa sanggup maksimum tiga tahun termasuk front engineering design. Untuk berikutnya, unit kedua, ketiga, keempat mereka sanggup 10 bulan. Lead time antara order dan commisioning itu dua tahun. Bayangkan kalau bangun PLTU bisa 5-6 tahun. PLTA bisa 10-12 tahun. Ini lah kenapa kita selalu tertinggal karena pembangunan pembangkit listriknya terlalu lama. Pertama di konstruksi sipilnya, lalu pembebasan lahannya, kalau bangun pembangkit 5-6 tahun bagaimana cara mengerjarnya. Contoh, FTP I dan FTP II, lalu proyek 35 ribu MW, kan tidak tercapai. Macam-macam alasannya. Tapi salah satu alasannya, ya terlalu lama. Tapi dengan PLTT ini, hanya dua tahun. Mulai dari order sampai commisioning, 2 tahun.

Soal kegamangan pemerintah?
Kegamangan itu kan pertama karena alasan keselamatan. Selama ini pemerintah mendapatan informasi yang salah. Seharusnya Bapeten lebih aktif meyakinkan pemerintah bahwa PLTN itu aman. Bahwasanya terjadi kegamangan dari sisi keselamatan, itu menunjukkan Bapeten kurang maksimal karena faktanya PLTN itu paling aman. Kegamangan kedua adalah masalah regulasi, dalam hal ini KESDM selalu merujuk pada PP 79 soal opsi terakhir. Berikutnya, tidak pernah dibaca pasal penjelasannya. Tidak pernah dirujuk tentang UU No 17 sehingga narasi yang beredar seolah-olah opsi terakhir, padahal tidak. Kegamangan terakhir adalan Badan dengan Kementerian ESDM itu kurang baik. Yang mempunyai kewenangan PLTN itu adalah Kementerian ESDM tapi mereka malu-malu, Batan selalu mengambil alih fungsi Kementerian ESDM seolah-olah mereka yang punya kewenangan PLTN padahal tidak. Batan cuma technical support organisation yaitu mendorong membantu Kementerian ESDM, kayak konsultan. Yang memiliki kewenangan PLTN kan Cuma dua, pertama KESDM dari sisi bauran energinya. Kedua untuk izin operasinya adalah Bapeten. Batan fungsinya mendukung. Inilah terjadi kesimpangsiuran, terjadi tumpang tindih kewenangan. Saya mencoba meluruskan dengan kajian ini, mencoba memberikan suatu pemahaman baru karena politik dan lainnya, isu ini tidak pernah klir. Sesungguhnya tidak ada persoalan. Kegamangan terakhir, public perception. Selalu di persepsikan soal PLTN. Satu-satunya data soal persepsi publik adalah yang dilakukan oleh Batan. Dan setiap tahun naik terus hasil surveinya sehingga pada 2017 kemarin sudah di level 77% yang mendukung PLTN, angka yang tertinggi di dunia. Di AS saja persepsi publiknya sekitar di bawah 70%. Perancis yang 80% PLTN saja itu persepsi publiknya juga masih di bawah 70-an%. Memang kita tidak bisa expect orang 100 persen mendukung. Artinya, pemerintah jangan terus menerus masyarakat belum menerima, datanya darimana, faktanya Kalimantan Barat sekarang berbondong-bondong. Memang ada yang tidak menerima, tapi apakah kita harus mendengarkan sekelompok kecil masyarakat. Pasti ada yang menolak. Kan tidak mungkin satu negara membuat kebijakan yang 100% pada mendukung.

BEP diproyeksikan berapa tahun?
Ini IRR-nya cukup tinggi sebagai investasi, 18%. Masih dengan yang disebut biaya tak terduga, cukup besar karena masih lama. Semakin adanya kepastian hukum dan lainnya maka biaya tak terduga akan semakin kecil. Maka IRR kami itu bisa tembus di atas 25%. Artinya dari sisi investasi sangat menarik. IRR 18% itu sudah bankable. BEP nya kurang dari 10 tahun lah. Dengan IRR seperti itu kurang dari 10 tahun lah kira-kira. Dari sisi investasi, ini menarik. Risiko yang agak sulit dimitigasi adalah risiko politik. Tiba-tiba pemerintah memutuskan untuk batal, itu gimana. Bukan saja cost kita bisa turun. Kan sederhana pertanyaan, cost production kan cuma US$3 sen per KWH, berarti bisa dong dijual US$5 sen per KWH. Ya bisa saja, tapi apakah kita bisa menerima atau tidak. Dua hal bisa terjadi, kita bisa mencapai economic of scale, lalu risiko-risiko politik itu bisa diserap entah dengan dokumen atau apa. Nuklir itu risiko politiknya lebih tinggi dibanding risiko teknologi. Jadi kalau pemerintah memberikan kepastian untuk kapasitas yang cukup signifikan let say 3.000 MW, dan memberikan suatu bentuk jaminan sehingga risiko politik bisa dialihkan atau bisa diserap atau bisa dimitigasi segala macam maka cost kita pasti bisa turun karena salah satu yang kita bayarkan adalah risiko politik, ini ada biayanya. Termasuk risko sosial. Inilah kenapa kita di laut, karena kalau risiko sosial terjadi bisa kita tarik kapalnya. Jadi walaupun sudah kita bangun cuma tinggal pelabuhannya aja. Tapi ada kerugian juga disitu. Jadi alasan tarif US$6-7 sen KWH itu banyak pertimbangannya, bisa sih ke US$ 5 sen per KWH juga, bergantung pada keinginan pemerintah. Tapi untuk saat ini kita bicara US$ 6-7 sen per KWH dengan segala risiko di kita. Kami menunggu jaminan investasi, yaitu kepastian hukum dalam bentuk Perpres atau apa yang bisa keluar di tahun ini sehingga pada 2020 bisa bangun test bed platform. Tentunya kepastian hukum itu harus mengkaver seluruhnya sampai selesai yaitu 2027, tapi pemerintah juga kan tidak mau berisiko. Tapi itu kan condtional, seperti yang saya sampaikan bilamana testbed platform lolos, uji barulah kita bisa membangun PLTT. Kalau tidak lolos, ya tidak dibangun karena kuncinya keselamatan. Ada lembaga yang menjamin keselamatan itu, namanya Bapeten. Jadi tidak usah ragu.  Yang berikutnya, yang selalu dilupakan orang, PLTN itu adalah pembangkit listrik yang diawasi seluruh dunia. Tidak ada pembangkit listrik yang diawasi lebih ketat seperti PLTN. Jadi saat kita nyatakan akan membangun PLTN, seluruh dunia akan melihat dengan mikroskop. Tidak ada pembangkit listrik lainnya yang diawasi seperti PLTN. Kalau PLTN, begitu kita nyatakan akan membangun, langsung rombongan dari IAEA (Internasional Atomic Energy Agency) segala macam akan datang. Pemerintah tidak usah ragu-ragu. Alasan lainnya adalah secara logika, di dunia ini tidak ada negara yang tidak akan bangun PLTN. Kekhawatiran orang selama ini, kalau memang benar terbukti maka seharusnya tidak ada lagi negara yang bangun PLTN. Growth PLTN harusnya negatif, nol. Sementara yang terjadi sekarang tumbuh 3%. Dan bahkan setelah Fukushima hanya setahun tahun turunnya. Di Cina 11%. Artinya kekhawatiran itu tidak mendasar. Memangnya hanya Indonesia saja yang mempertanyakan nuklir, kan tidak. Bangladesh, negara miskin yang GDP-nya setengahnya Indonesia sudah punya PLTN pada 2018 beroperasi. UEA tahun depan beroperasi, Saudi Arabia sudah mulai tender. Mesir sudah mulai menentukan tapak. Artinya, dalam lima tahun terakhir ada enam negara yang sudah mulai membangun atau siap mengoperasikan PLTN. Semua data ada tapi tidak ada yang mau membaca dengan benar.

Di mana rencana pengembangan PLTT-nya?

Lokasi kami serahkan ke pemerintah. Yang sedang dikaji Kementerian ESDM itu adalah Kalbar, Riau, dan Bangka Belitung. Memang masing-masing lokasi itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Salah satu alasan pemilihan lokasi adalah pembobotan. Pertama adalah penerimaan masyarakat, dukungan pemerintah, infrastruktur kelistrikannya dan demand. Memang kalau dari sisi political support, Pemda, masyarakat memang Kalbar paling tinggi. Tapi kekurangannya infrastrukturnya masih belum ada, jaringan listriknya masih 150 KV padahal untuk PLTN harus 275 bahkan 500 KV, artinya harus ada investasi besar-besaran dari PLN. Lalu demand-nya juga rendah, masih di bawah 300 MW. Sementara PLTT yang akan dibangun satu kapal itu 500 MW. Bisa diatasi ketika Kalbar sudah terinterkoneksi dengan seluruh Kalimantan. Lalu Riau, dari sisi infrastruktur tidak ada masalah, demand tidak ada masalah. Tapi penerimaan masyarakat dan political support-nya belum jelas karena belum disosialisasi. Babel penerimaan masyarakatnya cukup bagus, Pemda mendukung sudah lama, tapi belum sekencang Kalbar. Infrastruktur belum mendukung sama seperti Kalbar. Tapi Babel agak lebih mendukung karena bisa ekspor ke Sumatera. Ini kami serahkan ke pemerintah dan PLN untuk menetapkan lokasi. Buat saya yang terpenting itu penerimaan masyarakat dan dukungan pemerintah karena tanpa itu akan susah. Kalau ditanya ke saya, saya lebih prefer ke Kalbar. Tapi tentunya PLN perlu berinvestasi lebih besar untuk bangun infrastrukru. Karena saya kontraknya take or pay close, kalau demandnya terlalu rendah PLN akan rugi juga. (DR)