JAKARTA – International Energy Agency (IEA) memperkirakan permintaan batu bara di China akan turun dari 2.752 juta ton pada 2017 menjadi 2.673 juta ton pada 2023. Sekitar separuh dari permintaan tersebut adalah batu bara untuk pembangkit listrik (non-coking coal).

Konsumsi batu bara untuk pembangkit listrik di China diperkirakan akan mencapai puncaknya sebesar 1.350 juta ton pada 2020 dan akan turun ke 1.230 juta ton pada 2030 atau sekitar 9%.

Di India, walaupun kebutuhan batu bara akan naik,  volume impor batu bara diperkirakan akan turun ke level 13,4% dari total konsumsi pada 2022-2023 akibat meningkatnya produksi batu bara domestik.

“Permintaan batu bara di Jepang dan Korea diperkirakan IEA akan turun 3% pada 2023 dibanding volume di 2017,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jakarta belum lama ini.

Berdasarkan dokumen Basic Blueprint for Power Supply yang dirilis pemerintah Korea Selatan akhir tahun lalu, komposisi listrik dari batu bara akan turun dari 45,3% pada 2017 menjadi 36,1% pada 2030.

“IEA memperkirakan ekspor batu bara Indonesia bisa turun sebesar 15,7% pada 2023,” kata Fabby.

Penurunan permintaan impor batu bara di negara-negara tujuan tersebut perlu diantisipasi pemerintah, mengingat 80% produksi batu bara Indonesia untuk keperluan ekspor.

Berdasarkan proyeksi RUPTL 2019-2028, permintaan batu bara domestik diperkirakan akan naik dari 90 juta ton pada 2018 menjadi 137 juta ton pada 2024 dan turun menjadi 125 juta ton pada 2025. Dibandingkan dengan RUPTL sebelumnya, kebutuhan volume batu bara pada tahun-tahun tersebut mengalami penurunan sekitar 5,1%. Hal ini perlu menjadi catatan bahwa proyeksi kebutuhan batu bara domestik pun sangat dinamis dan dapat berubah seiring dengan perkembangan pembangunan pembangkit listrik.

Fabby mengatakan, dinamika volume ekspor batu bara dan konsumsi batu bara domestik akan mempengaruhi produksi batu bara di kemudian hari yang dapat mempengaruhi ekonomi nasional dan lokal di masa depan.

Selama ini justifikasi pengembangan batu bara berbasis pada narasi sebagai sumber energi termurah. Persepsi ini telah menjadi narasi arus utama di masyarakat awam maupun pembuat kebijakan. Padahal, murahnya harga energi batu bara ini tidak terlepas dari besaran subsidi yang dialokasikan pemerintah melalui berbagai kebijakan, termasuk penetapan kebijakan DMO dan batas atas harga batu bara untuk pembangkitan listrik.

“Dampak lingkungan dan kesehatan yang ditanggung oieh masyarakat selama ini juga diabaikan dan tidak masuk dalam perhitungan biaya eksternalitas,” tandas Fabby.(RA)