JAKARTA –  Pemerintah telah menyerahkan draf Omnibus Law Cipta Kerja kepada DPR sebagai rancangan Undang Undang (UU) baru untuk menggantikan berbagai UU yang dinilai bermasalah dan menghambat investasi. Berdasarkan dokumen draf Omnibus Law yang diterima Dunia Energi, beberapa aturan baru  diberikan pemerintah sebagai insentif kepada para pelaku usaha tambang, khususnya bagi pelaku usaha tambang batu bara.

Insentif yang bisa dilihat dalam beleid tersebut misalnya, pasal 83 RUU Cipta Kerja yang tertulis, luas satu Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral logam dan batu bara diberikan berdasarkan hasil evaluasi pemerintah pusat terhadap rencana kerja seluruh wilayah yang diusulkan pelaku usaha pertambangan khusus.

Poin tersebut merevisi aturan yang ada pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara pada pasal 83 yang berbunyi, luas satu WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 25 ribu hektare.

Selain itu, dalam Omnibus Law juga tidak mencantumkan batasan luas untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan batu bara. Sedangkan dalam UU Minerba tercantum dalam huruf d, luas satu WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan batu bara diberikan dengan luas paling banyak 15 ribu hektare.

Dengan begitu pemegang perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) generasi I yang akan habis kontraknya tidak perlu merevisi batasan luas dalam kegiatan operasi produksi pertambangan yang sudah berjalan. Tujuh perusahaan pemegang PKP2B Generasi I yang akan habis kontraknya yaitu, PT Arutmin Indonesia pada 1 November 2020, PT Kendilo Coal pada 13 September 2021, PT Kaltim Prima Coal pada 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utama pada 1 April 2022, PT Adaro Indonesia pada 1 Oktober 2022, PT Kideco Jaya Agung pada 13 Maret 2023, dan PT Berau Coal pada 26 April 2025.

Tidak hanya itu, untuk jangka waktu atau ketentuan dalam umur kontrak juga alami perubahan dimana pemerintah bisa menetapkan kontrak pengelolaan suatu wilayah pertambangan baik itu mineral logam ataupun batu bara sesuai dengan cadangan atau umur tambang, namun dengam catatan perusahaan tersebut harus mengembangkan hilirisasi. Ini terdapat dalam pasal 83 huruf g yang berbunyi, jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus mineral logam untuk tahap kegiatan operasi produksi yang melaksanakan pengolahan dan pemurnian mineral logam yang terintegrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu selama 30 tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 tahun sampai dengan seumur tambang.

Selain itu, jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus batu bara untuk tahap kegiatan operasi produksi yang melaksanakan pengembangan dan pemanfatan batubara yang terintegrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 tahun sampai dengan seumur tambang. Ini berbeda dengan beleid sebelumnya yang menyebut jangka waktu kontrak mineral logam atau batu bara dapat diberikan paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing-masing 10 tahun.

Insentif berikutnya adalah insentif royalti 0% bagi pelaku usaha yang melakukan hilirisasi. Ini tertuang dalam Pasal 128 A. Ayat (2) dalam pasal tersebut menyebutkan pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0%.

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebelumnya mengatakan insentif diberikan bagi perusahaan yang melakukan hilirisasi batu bara. “Insentif bagi perusahaan yang membangun smelter sampai dengan 2022, serta hilirisasi batu bara,” kata Arifin.

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, mengatakan pemerintah tengah menyiapkan insentif bagi hilirisasi batu bara. Produk yang dikejar dari hilirisasi tersebut berupa gasifikasi yang dapat menghasilkan Dimethyl Ether (DME), yang dapat menjadi substitusi Liquefied Petroleum Gas (LPG). Ada tiga insentif yang disiapkan pemerintah. Pertama, terkait dengan iuran produksi atau royalti yang bisa ditekan hingga 0%. Kedua, insentif dari sisi perpajakan. Ketiga, dalam bentuk harga jual.

“Kami sedang mengkaji, royaltinya berapa, kemudian harga jualnya berapa, apakah seperti di PLTU mulut tambang, cost plus margin. Kemudian perpajakannya seperti apa,” kata Bambang.

Mengenai harga jual, Arifin sebelumnya juga mengatakan Kementerian ESDM akan mengenakan harga khusus bagi batu bara yang akan menjadi bahan baku gasifikasi. Harganya, berkisar di angka US$20 – US$21 per ton.

Saat ini, baru PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang sudah dalam pengerjaan proyek gasifikasi batu bara untuk produk DME. Targetnya, pada 2023 Bukit Asam akan memproduksi sekitar 1,4 juta ton DME untuk substitusi LPG.

Menurut Arifin, Kementerian ESDM akan mendorong pemegang Perjanjian Karya Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi Pertama untuk ikut mengembangkan hilirisasi batubara. Saat ini, terdapat delapan perusahaan pemegang PKP2B, yakni PT Berau Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Adaro Indonesia, PT Indominco Mandiri, PT Kaltim Prima Coal, PT Kendilo Coal, PT Kideco Jaya Agung dan PT Multi Harapan Utama.(RI)