JAKARTA – Pemerintah diminta melaksanakan Undang-Undang (UU) Nomor 4  Tahun 2009 tentang Pertambangan Miineral dan Batu Bara (Minerba) secara optimal karena tidak ada urgensi untuk merevisi UU tersebut saat ini. Justru tingginya keinginan untuk merevisi UU tersebut menimbulkan pertanyaan untuk siapa UU tersebut direvisi.

Faisal Basri, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai, UU Minerba yang ada saat ini sudah jelas peruntukannya tinggal dijalankan pemerintah. Ia mengaku heran dengan keinginan pemerintah dan juga DPR yang justru ngotot membahas revisi UU Minerba, bahkan ditengah pandemi Corona atau Covid-19.

Menurut Faisal, salah satu keinginan merevisi UU Minerba lantaran ada beberapa perusahaan produsen batu bara raksasa yang kontraknya segera habis. Enam perusahaan tersebut berada di lingkaran kekuasaan, sehingga bisa mendesak pemerintah untuk bertindak memastikan kontrak para perusahaan tersebut kembali diberikan. Padahal UU yang ada sekarang telah mengatur kontrak yang habis maka wilayah tambangnya harus dikembalikan dulu kepada negara untuk selanjutnya dilelang.

“UU yang ada ya laksanakan saja, dilelang. Kalau anda mau lagi silahkan ikut, akhir kontrak ada di tangan pemerintah dan pemerintah ada daya negosiasi luar biasa untuk mengurangi rente , ini momentum luar biasa. bukan mereka yang memanfatkan Covid ini,” kata Faisal dalam diskusi melalui vide conference, Rabu (15/4).

Enam perusahaan yang akan habis masa kontraknya dalam waktu dekat yakni PT Arutmin Indonesia yang kontraknya selesai 1 November 2020. PT Kaltim Prima Coal selesai pada 13 September 2021. Lalu ada PT Multi Harapan Utama selesai pada 1 April 2022. PT Adaro Indonesia berakhir 1 Oktober 2022. Kemudian ada PT Kideco Jaya Agung selesai pada 13 Maret 2023. Lalu ada PT Berau Coal yang kontraknya selesai pada 26 April 2026.

Dalam rencana aturan baru nanti juga ada perubahan batas waktu pengajuan perpanjangan yakni yang semula perusahaan baru bisa mengajukan perpanjangan dua tahun sebelum kontrak habis menjadi lima tahun sebelum kontrak habis.

“Luar biasa sistemik masif dan apa gitu. Enam perusahaan ini hampir 70% produksi nasional. Luar biasa kemampuan lobi untuk kepentungan perkembagan batu bara,” ujar Faisal.

Menurut Faisal, RUU Minerba diibaratkan seperti karpet merah bagi para taipan batu bara karena ada beberapa poin yang sarat akan kepentingan. Salah satunya ada pasal 169A dimana Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) diberikan jaminan perpanjangan, dijamin penuh walaupun sudah habis masa kontrak. Jaminan menjadi IUPK operasi produksi sebagai kelanjutan kontrak dengan ketentuan.

Perpanjangan ini dijamin dua kali perpanjangan IUP operasi produksi sebagai kelanjutan perjanjian masing- masing dengan jangka waktu 10 tahun setelah berakhirnya KK dengan dalih meningkatkan penerimaan negara. “Padahal mereka mengantisipasi pergantian rezim. Mereka investasi direzim sekarang, maka ingin diperpanjang di periode sekarang ini dengan proses pengamanan itu yang terjadi,” kata Faisal.

Kemudian ada juga pasal 83. Di dalam pasal ini berbunyi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) operasi produksi yang terintegrasi dengan kegiatan pengembangan dan/atau pemenfaatan batubara diberikan jangka waktu selama 30 tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Faisal mengatakan mayoritas PKP2B memproduksi batu bara untuk diekspor. Ini juga bisa dilihat dari realisasi perbandingan ekspor dan penyerapan batu bara ddi dalam negeri selama ini.

Misalnya, produksi 85 juta ton dengan kebutuhan 35 ribu Megawatt (MW) sekitar 10% pembangkit maka perusahaan dapat 30 tahun dan dijamin memproleh perpanjangan 10 tahun setelah memenuhi persyaratan ketentuan perpanjangan padahal mayoritas ekspor.

“Jadi bukan optimalisasi penerimaan negara tapi yang dia dapat sangat besar. Ini upaya double lapis sehingga bisa lebih aman untuk menjaga apa yang mereka dapatkan dari apa yang mereka miliki sekarang supaya bisa langgeng bisa mencetak uang sedemikian banyak miliaran. Tapi ini amat sulit kalau yang tidak dekat dengan kekuasaan,” ungkap Faisal.

Berly Martawardaya, Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia, mengatakan pemerintah sepatutnya lebih siap dalam hadapi dengan penjelasan yang jelas berbagai pertanyaan yang timbul jika benar-benar bersikeras mau revisi UU Minerba. Menurut Berly, yang terjadi sekarang pemerintah sendiri tidak bisa menjelaskan maksud dari revisi UU Minerba tersebut.

“Seperti di pasal 169 itu, masih banyak pertanyaan yang timbul tapi mana jawaban pemerintah?, selama ini belum bsia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul,” tegas Berly.(RI)