JAKARTA– Panas bumi dan bioprospeksi berpotensi besar sebagai masa depan Indonesia di bidang energi. Selain berkelanjutan dan ramah lingkungan, pemanfaatan panas bumi dan bioprospeksi sebagai sumber energi dapat membantu Indonesia mengurangi defisit neraca transaksi berjalan yang setiap tahun membayangi Indonesia.

Pri Utami, Ahli panas bumi dari Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) yang juga Direktur International Geothermal Association (IGA), mengatakan tiap 1 megawatt (MW) energi panas bumi, dapat menghemat pengeluaran minyak 47,3 barel per hari. Hingga 2019, kapasitas terpasang energi panas bumi di Indonesia mencapai 2.047 MW.

“Artinya, dengan harga minyak yang saat ini rata-rata US$ 60 dolar per barel, dalam setahun jumlah devisa yang dapat dihemat sebesar US$ 2,2 miliar. Dengan demikian, pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi sangat strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi fosil, seperti minyak, gas, dan batubara,” kata Pri dalam keterangan tertulis kepada Dunia-Energi, Minggu (5/1).

Pernyataan Pri tersebut terkait tingginya defisit transaksi berjalan Indonesia saat ini, yang disebabkan oleh besarnya impor minyak dan gas yang masih menjadi sumber utama energi nasional, seperti disampaikan Presiden Joko Widodo di Jakarta pada 23 Desember 2019.

Menurut Pri, bauran energi Indonesia hingga 2019 baru sekitar 11%. Dengan kapasitas terpasang 2.047 MW, panas bumi baru memberi porsi sekitar 17% dari bauran energi baru terbarukan (EBT) tersebut. Jumlah itu sangat kecil apabila dibanding potensi panas bumi di negeri ini yang diperkirakan mencapai lebih dari 20.000 MWe (megawatt ekuivalen minyak atau setara 20.000 gigawatt).

Pemerintah menargetkan akan mendorong pemanfaatan energi panas bumi hingga sekitar 7.000 MW pada 2025 guna mencapai target bauran energi nasional sebesar 25%. Jika target tersebut tercapai, ungkap Pri, maka pada tahun tersebut devisa negara yang bisa dihemat akan mencapai US$ 7,3 miliar.

Potensi penghematan sebesar US$7,3 miliar tersebut cukup signifikan untuk menghadapi penyakit kronis berupa defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang menjangkiti Indonesia sejak tahun 2011, yang mencapai puncaknya pada tahun 2018, yaitu sebesar 3% dari produk domestik bruto (PDB) atau sekitar US$8,57 miliar, yang disumbangkan oleh tingginya impor migas.

“Oleh karena itu, Indonesia memerlukan peningkatan teknologi eksplorasi, optimalisasi produksi, penelitian dan pengembangan (litbang) terhadap potensi panas bumi yang masih tersembunyi,” ucap Pri yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Panas Bumi Universitas Gadjah Mada ini.

Sebagai sumber energi, panas bumi juga memiliki signifikansi tinggi dalam menciptakan lingkungan yang bersih. Hasil kajian Pusat Penelitian Panas Bumi UGM menemukan, dari 2.047 MW kapasitas terpasang sumber energi panas bumi yang ada saat ini, dapat menurunkan emisi karbondioksida sebesar 11,14 juta ton per tahun. Dengan demikian, apabila target kapasitas terpasang 7.000 MW tercapai, akan lebih besar lagi penurunan emisi karbondioksida yang dihasilkan.

Namun demikian, lanjut Pri, panas bumi tak hanya berpotensi sebagai sumber energi baru terbarukan. Panas bumi juga dapat dimanfaatkan secara langsung untuk proses produksi, sebagai sumber energi bagi pemanas atau pendingin ruangan, juga untuk pertanian, perikanan, kesehatan, dan rekreasi.

Selain itu, panas bumi juga menyimpan kekayaan di dalam sistem dan lingkungannya yang belum mendapat perhatian, antara lain: unsur senyawa berharga terlarut, seperti B, Li, Zn, Au, Ag, REE, SiOs, Salts, dan CO2; biodiversitas area panas bumi, seperti flora dan fauna makro, maupun organisme ekstrimofilik; serta panas bumi bawah laut yang kaya sumber energi, mineral, dan sumber daya hayati.

“Untuk itu, diperlukan perubahan paradigma dari pemenuhan kebutuhan energi jangka pendek menjadi paradigma untuk menjaga kelestarian alam, serta mewujudkan kemakmuran yang berkelanjutan melalui pemanfaatan panas bumi beserta produk ikutannya. Ini membutuhkan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan,” tegas Pri.

Bioprospeksi

Alan Koropitan, Ketua ALMI, menjelaskan di samping panas bumi, potensi besar sumber energi Indonesia yang saat ini belum dimanfaatkan adalah bioprospeksi, yaitu sumber daya genetik dari kekayaan keanekaragaman hayati. Jenis bioprospeksi yang paling potensial untuk dikembangkan sebagai sumber energi adalah bioenergi dari fotosintesis mikroalga. Dengan lebih dari dua pertiga wilayah berupa lautan, di mana 90% di antaranya adalah laut dalam, Indonesia menyimpan kekayaan alga dan jazad renik berharga lainnya untuk diubah sebagai sumber energi.

“Jika isu yang dihadapi adalah lahan terbatas dan kerusakan lingkungan, seperti halnya dalam pengembangan kelapa sawit, maka mikoralga dapat menjadi alternatif sumber energi terbarukan karena dapat menghasilkan biodiesel secara lebih efisien. Mikroalga juga tak membutuhkan lahan pertanian sehingga tak bersaing dengan produksi pangan,” ujarAlan yang juga merupakan ahli kelautan dari Institut Pertanian Bogor ini.

Bersama Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), lanjut Alan, ALMI telah merumuskan rekomendasi kebijakan di sektor biodiversitas melalui buku “Sains untuk Biodiversitas Indonesia” (2019). Salah satunya adalah pemanfaatan bioprospeksi untuk sumber energi terbarukan, khususnya pemanfaatan fotosintesis mikroalga. Selain jumlahnya berlimpah, mikroalga sebagai sumber energi juga memiliki kelebihan lain dibanding biodiversitas lainnya—seperti kelapa sawit dan jarak—yaitu dapat menyerap energi matahari menjadi biomassa, bioetanol, atau bahkan, carbon-negative hydrogen.

“Tantangannya adalah pada peningkatan efisiensi dan kinerja fotosintensis. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan saat ini memungkinkan untuk mendesain ulang fotosintesis secara substansial,” katanya.

Alan menegaskan, kesempatan untuk memanfaatkan potensi energi terbarukan, seperti panas bumi dan bioprospeksi sangat tergantung kemampuan dan kemauan Pemerintah Indonesia dalam pengembangan sains dan teknologi. Oleh karena itu, Indonesia harus tetap berinvestasi dalam sains dasar dan teknologi untuk dapat mengelola kekayaan biodiversitasnya secara lestari.

“Dan investasi di sektor sains dan teknologi semestinya tidak menjadi masalah jika melihat potensi besar dua sumber energi tersebut dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya terkait tekad pemerintah untuk ke luar dari defisit transaksi berjalan akibat tingginya impor migas dan kehendak untuk ke luar dari jebakan negara berpendapatan menengah,” kata Alan. (RA)