KREATIVITAS bisa lahir jika ada kemauan keras. Itu kiranya yang jelas terlihat ketika Muhamad Satori berkemauan keras untuk mencari bahan pembuat pupuk organik di desa Cilamaya, Karawang, Jawa Barat.

Ide sederhananya terlintas ketika dilangsungkan acara pernikahan di lingkungan sekitar rumahnya. Satori melihat air sisa cucian beras dibuang begitu saja dan di saat yang bersamaan ia menjadi bagian dari tim kelompok Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Saluyu yang bertugas untuk mencari bahan-bahan pembuatan pupuk organik.

“Saya lagi butuh buat bahan-bahan pupuk, dari pada sayang dibuang saya mau manfaatin air cucian beras” cerita Satori kepada Dunia Energi, belum lama ini.

Di wilayah Cilamaya, Gapoktan Saluyu dikenal sebagai kelompok tani yang terdepan dalam kembangkan metode tanam organik atau memanfaatkan bahan-bahan alami, kerja sama antar petani di dalam kelompok juga tidak asal-asalan.

Satori menceritakan untuk kesempatan kali ini dia mendapatkan tugas kumpulkan bahan pupuk air bekas cucian beras. Biasanya dia jemput bola ke rumah-rumah warga titip pesan sembari sediakan jeriken agar air cucian beras tidak dibuang dan langsung disimpan ke dalam jeriken. Keesokan paginya dia akan ambil air bekas cucian beras tersebut untuk jadi bahan olahan pupuk.

Ia menceritakan dalam semalam biasanya hanya mendapatkan satu jeriken air cucian beras padahal kebutuhannya harus empat jeriken setiap satu kali sesi pembuatan pupuk. Berarti butuh empat malam agar bahan tercukupi. Tapi inisiatif Satori membuatnya bisa mendapatkan bahan pupuk jauh lebih cepat.

“Ada hajatan, dapat lima jeriken hanya semalam. Spontanitas aja itu. Saya butuh bahan, terkumpul lebih dari empat jeriken atau 25 liter semalam aja kan lumayan. Biasanya tetangga saya minta tolong satu jeriken dapat satu malam,” kata Satori.

Selain air bekas cucian beras beberapa bahan lain yang dikumpulkan untuk membuat pupuk cair adalah air kelapa, air gula merah, eceng gondok, probiotik, limbah jamur, petroganik, sekam. Semuanya bisa didapatkan di sekitar wilayah desa. Hanya saja ada satu bahan utama yang masih sulit didapatkan sehingga harus dibeli yakni kotoran sapi.

Endang Sudrajat, Ketua Gapoktan Saluyu, mengatakan untuk bisa mendapatkan kotoran sapi yang merupakan bahan terbaik untuk membuat kompos tabur, harus dibeli dari wilayah Bekasi dengan harga Rp600 ribu setiap 1 ton kotoran sapi.

Untuk pembuatan pupuk cair sebanyak 200 liter yang digunakan untuk lima hektar lahan dibutuhkan kotoran sapi 20 kg, air kelapa 25 liter, air bekas cucian beras 25 liter, air gula merah 25 liter yang membutuhkan sedikitnya 2,5 kg gula merah dan eceng gondok sebanyak 20 kg.

Sementara pupuk tabur dibutuhkan 1 ton kotoran sapi untuk 1 hektare lahan yang dicampur dengan sekam, limbah jamur dan petroganik baru. Seluruh bahan dimasukan ke dalam wadah pengompos. Kemudian disiram tiga hari sekali dan diaduk. Jangan lupa juga diayak untuk memisahkannya dengan butiran besar. Lalu didiamkan atau melalui proses fermentasi selama 10-15 hari baru kemudian dipanen.

Gapoktan Saluyu terdiri dari tujuh kelompok tani dengan total jumlah anggota mencapai 374 anggota. Setiap anggota kelompok bervariasi antara 27 sampai 40an anggota. Tujuh kelompok diantaranya Rahayu, Sugih, Jembar, Sri Rejeki, Unggul, Muncul, Sri Asih.

Endang yang akrab disapa Aep jadi motor penggerak utama tanam padi sehat organik di desa Cilamaya. Dia menceritakan awal mula penggunaan metode tanam organik lantaran petani merasa tingkat kesuburan tanah yang mereka tanami terus berkurang, pun demikian dengan serangan hama yang makin sering terjadi.

Ternyata apa yang dirasakan benar adanya karena menurut dia pernah dilakukan uji coba PH tanah di Cilamaya hanya 4. “Padahal normalnya PH bernilai 6-7,” kata Aep.

Upaya peningkatan PH melalui penggunaan pupuk kimia atau non organik seperti Urea memang jadi salah satu upaya yang ditempuh petani agar hasil panen kembali moncer. Akan tetapi yang harus diingat, upaya peningkatan PH secara terus menerus menggunakan bahan kimia juga tidak bagus untuk kesuburan tanah. Nilai PH yang berlebihan atau basa juga memiliki dampak buruk bagi kelangsungan pertumbuhan tanaman. Hal itu dirasakan para petani.

Meskipun sadar adanya penurunan kondisi kesuburan tanah, penggunaan pupuk anorganik sempat tak terbendung lantaran para petani tidak tahu harus berbuat apa demi meningkatkan kesuburan tanah secara alami. Informasi mengenai metode tanam dengan menggunakan pupuk organik masih minim, terbatasnya pengetahuan tanam organik ketika dipaksakan juga membuat modal jadi bengkak terutama untuk membeli pupuk organik.

Kesempatan untuk melakukan metode tanam organik akhirnya hadir sekitar 2017 dengan penyelenggaraan pelatihan pertanian ramah lingkungan oleh PT Pertamina Gas (Pertagas). Kala itu Pertagas menggandeng Klinik Pertanian Organik – Kembang Langit untuk mengawal program. Selain dirasakan pada kesuburan tanah, menggunakan pupuk organik juga berdampak dari sisi ekonomi. Selain itu melalui pelatihan itu juga para petani Gapoktan Saluyu diajarkan untuk tidak bergantung pada pupuk organik yang diproduksi oleh pabrik, tapi diajarkan untuk membuat pupuk organik sendiri.

“Biaya berkurang rata-rata itu sekitar 30% biasanya per hektar biaya Rp9 juta, sekarang Rp4 juta – Rp5 juta, dari mulai semai sampai panen,” ungkap Aep.

Untuk musim tanam terakhir saat memasuki musim awal pandemi, penggunaan sistem tanam padi sehat organik benar-benar dirasakan manfaatnya. Aep menceritakan kebutuhan biaya untuk 1 hektare sawahnya sebesar Rp5,5 juta hingga Rp6 juta dengan hasil sekitar 6,2 ton. Sementara di lahan yang tidak menggunakan program padi sehat organik kebutuhan biayanya jauh lebih besar hingga mencapai Rp10 juta- Rp11 juta per hektare.

“Saya nyawah ada yang ikut program padi organik ada yang enggak. Saya tanam padi 3,5 hektare, yang ikut padi sehat 1,5 hektare yang tidak ikut program 2 hektare,  yang tidak ikut program biaya jauh lebih besar, kami habiskan biaya Rp22 juta untuk yang 2 hektare. Nah 2 hektare itu dapatnya cuma dua ton,” jelas Aep.

Penggunaan pupuk organik sekarang mencapai 85%, sisanya masih dicampur pupuk kimia sekitar 15%. Dulu, para petani Cilamaya biasanya setiap 1 hektare membutuhkan 225 kg pupuk kimia tapi sekarang sudah berhasil dipangkas menjadi hanya sekitar 75 kg mulai dari semai sampai tanam.

“Kemudian obat-obatan hama kurang lebih 50% kimianya sudah dikurangi sekarang pakai buatan sendiri jadi memang berkurang penggunaan obat hama dibantu pupuk organik,” kata Aep.

Ia menceritakan dari dua kali panen gunakan metode tanam organik berakhir dengan hasil positif dengan jumlah rata-rata panen yang mencapai 7,5 – 8 ton per hektare. “Total 14 hektare sudah pakai pupuk organik,” ujar Aep.

Endang Sudrajat dan sawah yang ditanam padi sehat organik (Foto/Dok/Dunia Energi)

Cerita sukses tanam padi sehat organik ala Gapoktan Saluyu mulai menyebar dan jadi buah bibir di kalangan petani di wilayah Cilamaya, karena itu ada permohonan penambahan perluasan program.

“Musim tanam ini rencana 28 hektare, karena banyak petani yang mau karena dari biaya juga lebih ringan. Kemudian hama nggak terlalu banyak seperti kalau pakai kimia,” kata Aep.

Nasih Widya Yuwono, Dosen Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) menjelaskan bahwa sampah organik yang digunakan para petani dapat diolah menjadi pembenah tanah dan pupuk. Penggunaan bahan-bahan organik dalam kegiatan tanam padi di Cilamaya harus didukung karena bahan organik dalam tanah bisa menghidupkan tanah sehingga fungsi tanah untuk produksi biomasa (termasuk pertanian) akan sustain atau berkelanjutan.

Dia menjelaskan, tanaman apapun akan memberikan hasil terbaik mengikuti kaidah Phenotype (P) atau hasil panen =  Genotype atau benih (G) +  Environment atau lingkungan (E).  Jika kebutuhan unsur hara esensial cukup dan seimbang maka akan dapat hasil terbaik.

“Sistem pertanian organik bisa sama atau lebih baik dibanding sistem biasa,” kata Nasih.

Masuknya Pertagas tidak semata-mata membantu dalam penataan untuk metode penanaman tapi juga ikut memberikan kesadaran akan pentingnya pengelolaan hasil panen yang berkelanjutan. Metode tanam organik adalah bagian dari program Saung Patra yang mulai bergulir pada 2017 dimana didalamnya juga telah memiliki beberapa program yang turut dirintis agar hasil panen bisa dirasakan manfaatnya secara optimal dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Tabungan Padi Petani Mandiri (Tapa Pari) jadi salah satu program tersebut yakni sistem lumbung sebagai pusat cadangan yang sudah dimulai pada tahun 2018.

Beras Mandiri melalui DUIT (Duit Dua Kilo Irit) produk sampingan beras sehat dikemas ekonomis dengan kualitas ramah lingkungan. “Harganya itu pandan wangi Rp15 ribu per kg. Ciherang , kalau non organik Rp10 Ribu – Rp11 ribu per kg. Rencananya memang mau ada tambahan variasi kemasan 5 kg. Kalau sekarang kemasan diatas 10 kg,” kata Aep.

Sebagai bagian dari rencana jangka panjang, Pertagas membentuk petani yang mandiri. Program ini mulai diinisiasi pada tahun 2019 lalu.

Rumah Pangan

Program berikutnya adalah Rumah Pangan  Lestari -BUMdes Soko Tani oleh Gapoktan Saluyu sebagai etalase bisnis produk pertanian ramah lingkungan. Dalam rumah pangan ini Gapoktan Saluyu mulai merintis pembentukan koperasi yang fungsinya sebagai wadah penyediaan berbagai kebutuhan petani agar tidak lagi kesulitan baik mencari modal ataupun berbagai kebutuhan bertani seperti pupuk, obat hama dan nutrisi serta kebutuhan lainnya.

“Kita sudah dapat pinjaman dari BUMdes modal untuk simpan pinjam Rp30 juta, 2 tahun Rp50 juta. Kemudian pinjam lagi Rp130 juta untuk modal kios, Penyediaan obat tani, jadi petani beli obat nggak jauh tinggal ke koperasi,” ujar Aep.

Koperasi Gapoktan Saluyu (Foto/Dok/Dunia Energi)

Sesuai dengan roadmap, maka Pertagas sudah siapkan exit program pada 2021 yang ditandai dengan sudah mampunya para petani dalam mengelola produk dan sistem pertanian organik mandiri desa Cilamaya. Kemudian diharapkan nantinya desa Cilamaya menjadi pusat edukasi dan pengembangan inovasi pengelolaan pertanian.

Zainal Abidin Manager Communication, Relations & CSR PT Pertamina Gas menjelaskan dalam menjalankan program CSR yang berbasis community development, perusahaan tidak akan terus terlibat melainkan pasti ada strategi untuk bisa lepas dari pendampingan sehingga mitra bisa mandiri

“Dari awal masuk program social mapping, kita susun roadmap-nya. ini variasi waktu macam-macam tergantung mapping. Ada program bisa jalan asumsinya bisa hingga kemandirian setelah 3-5 tahun. Dari sisi perusahaan kami sapkan panduan exit strategy,” kata Abidin.

Dia menuturkan ada beberapa parameter yang dilihat dan diukur berdasarkan studi sebelum perusahaan membiarkam mitra berkembang sendiri, diantaranya dilihat dari sisi alat produksi, kesiapan dalam permodalan, lalu dilihat juga eksistensi kelompok apakah sudah ada akses kerja sama dengan pihak lain.

“Itu indikator kapan pertagas pendampingannya atau bantuan disetop. misalnya akses permodalan Pertagas jembatani ke perbankan atau non perbankan,” ujar Abidin.

Pandemi Covid-19 memang berikan pukulan telak bagi beberapa mitra binaan Pertagas. Untungnya beberapa strategi mitigasi bisa dijalankan. Untuk program tanam padi sehat berbagai program pelatihan masih bisa dilakukan tentu dengan protokol kesehatan yang ketat. Karena para petani perlu tetap mendapatkan ilmu tentang metode mempersiapkan berbagai bahan untuk lakukan tanam organik.

Selain itu, untuk memastikan ekonomi para petani tetap berjalan, Pertagas untuk sementara menjadi salah satu konsumen utama produk para petani yang kemudian dijadikan bantuan bagi masyarakat terdampak pagebluk.

“Jadi off taker produk mitra binaan, penyaluran produk mitra binaan sebagai bantuan sembako di lingkup desa lalu ada juga pelatihan pengolahan krupuk berbahan baku beras,” jelas Abidin.

Beberapa capaian Gapoktan Saluyu dalam program tanam padi sehat organik selain tentu sukses menurunkan secara signifikan penggunaan pupuk kimia juga mampu memanfaatkan buah Bintaro sebagai pestisida nabati pencegah hama tikus.

Kemudian berdasarkan perhitungan juga ada kenaikan pendapatan para petani Rp2,5 juta per musim tanam, pendapatan buruh tani naik juga sebesar Rp675 ribu per musim lalu bisa menghasilkan 3,2 ton Beras Sehat DUIT dengan harga jual Rp30 ribu per kemasan.

Rina Resnawaty, Pakar CSR dan Ketua Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fisip Universitas Padjajaran mengungkapkan tanam padi sehat atau organik memiliki beberapa manfaat sekaligus bagi petani, diantaranya tentu meningkatkan pendapatan karena padi sehat atau organik memiliki harga jual lebih tinggi.

Selain itu juga meningkatkan kesadaran hidup sehat karena umumnya petani  organik memberikan konsumsi beras organik juga untuk keluarganya. Lalu menghilangkan ketergantungan pada pupuk kimia sehingga mampu mengembalikan unsur hara pada tanah sehingga ekosistem sawah menjadi terjaga.

Dia menilai bagi perusahaan, CSR yang berfokus pada program padi organik memiliki keunggulan tersendiri. Beberapa program CSR terkait padi organik ini memiliki nilai social return cukup tinggi. “Sebab selain memberikan manfaat ekonomi bagi kelompok tani, juga memberikan manfaat kesehatan bagi masyarakat secara lebih luas,” kata Risna kepada Dunia Energi.

Menurut Risna, dengan banyaknya keuntungan dengan menanam padi sehat tentu menarik banyak petani untuk ikut serta menanam padi secara organik.

Risna mengingatkan ketika produksi sudah cukup banyak, harus dipersiapkan pasar untuk menjual hasil tani tersebut, sehingga selain edukasi pada petani, diperlukan juga edukasi pada masyarakat secara lebih luas yang nantinya akan menjadi pasar potensial bagi produk yang dihasilkan.

“Dalam prakteknya petani dapat diperkenalkan dan dilatih untuk membuka jaringan pemasaran agar mereka dapat dengan mudah menjual padinya,” kata Risna.(Rio Indrawan)