JAKARTA – Pemerintah telah menetapkan target produksi minyak mencapai satu juta barel per hari (bph) pada 2030. Untuk bisa mencapai target tersebut ada beberapa prasyarat yang harus bisa direalisasikan. Syarat utamanya adalah peningkatan investasi.

Wahju Wibowo, Kepala Divisi Perencanaan Eksploitasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengungkapkan untuk mencapai produksi satu juta bph diperlukan terobosan secara masif dan besar. Salah satunya adalah dalam hal kegiatan pengeboran. Kegiatan pengeboran tidak bisa lagi hanya sekitar 100 – 200 sumur, tapi harus jauh melebihi itu.

“Pengeboran harus 500-700 sumur, naik sampai 1.000 sumur setiap tahun. Ini otomatis naik investasinya, seperti pada 2014 dan sebelumnya. Itu harus,” kata Wahju disela konferensi pers 2020 International Convention on Upstream Oil and Gas Indoenesia, Rabu (4/11).

Peningkatan investasi adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar untuk mencapai produksi satu juta bph. Kebutuhan investasi tersebut untuk urusan pengeboran saja bisa sampai US$2 miliar. “Kalau 1.000 sumur, misal satu sumur butuh US$2 juta, jadi butuh sekitar US$2 miliar yang harus disiapkan. Itu dari pengeboran. Nanti juga  proyek PoD jalan, EOR (Enhance Oil Recovery), eksploras,i saya bisa bayangkan gairah industri migas menggelinding ke depan,” ungkap Wahju.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), investasi hulu migas pernah mencapai US$20,38 miliar pada 2014 atau tertinggi selama 2012-2020. Setelah itu, investasi hulu migas terus turun menjadi US$15,34 miliar pada 2015 dan turun menjadi US$ 10 miliar-US$11 miliar selama 2016-2019. Pada tahun ini, investasi hulu migas diproyeksikan hanya sekitar US$11,1 miliar dengan realisasi per September baru US$ 6,9 miliar.

Wahju mengatakan untuk mencapai produksi satu juta bph, aset yang ada sekarang tetap menjadi andalan atau mencapai 70% dari total produksi. Sisanya berasal dari EOR dan eksplorasi yang sudah mulai dilakukan dari sekarang. Jadi eksplorasi yang saat ini belum ketemu tapi komitmen biaya sudah banyak, itu hanya 15% pada 2030.

“Jadi kontribusi produki 2030 , 70% itu berasal dari apa yang sudah diproduksikan saat ini dan proyek yang akan dilaksanakan. Jadi dari cadangan yang sudah ada, tinggal bagaimana mengangkat itu, ditambah EOR dengan teknologi baru dalam hal ini terbesar dari Rokan 15%. Siisanya 15% dari eksplorasi,” ungkap Wahju.

Penemuan cadangan jadi kunci dalam mengejar target. SKK Migas berharap tingkat penggantian cadangan (reserve replacement ratio/RRR) ke depannya bisa dipertahankan dilevel 100%. Jadi seluruh minyak yang diproduksikan harus digantikan dengan cadangan pada volume yang sama.

Kemudian hingga dua tahun depan peningkatan produksi memang sangat berat dicapai tapi agar target bisa dicapai maka mau tidak mau minimal produksi harus bisa ditahan atau tidak alami penurunan. Peningkatan produksi signifikan baru akan terasa pada tahun 2025.

SKK Migas akan mendorongproduksi minyak nasional ditahan dalam 1-2 tahun berikutnya, produksi minyak diupayakan mulai naik bertahap. “Baru mulai 2025, produksi minyak akan naik secara signifikan,” ujar Wahju.

Fatar Yani Abdurrahman, Wakil Kepala SKK Migas menyatakan butuh usaha luar biasa untuk mencapai produksi 1 juta bph di 2030. Untuk itu, SKK Migas dan pemerintah juga tengah menyiapkan berbagai kemudahan dan insentif untuk memudahan investasi migas di Indonesia.

Pemerintah sudah memiliki berbagai instrumen untuk bisa meningkatkan investasi hulu migas. Melalui 2020 International Convention on Upstream Oil and Gas Indonesia pada 2-4 Desember nanti akan diabahas sosialisasi tentang berbagai insentif dan perubahan di industri migas nasional.

“Konvensi ini akan menjelaskan stimulus yang sudah disiapkan dan transformasi yang kita kerjakan seperti apa. Sehingga, dunia luar tahu bahwa Indonesia sudah berubah,” tegas Fatar Yani.(RI)