JAKARTA – Rencana PT Pertamina (Persero) untuk melepas sebagian sahamnya ke publik melalui mekanisme penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) dikhawatirkan akan mengancam kelangsungan ketahanan energi nasional. Kehadiran pemegang saham publik nantinya dikhawatirkan bisa menganggu tugas dan fungsi utama Pertamina yang notabene adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk memastikan ketahanan energi nasional.

Ratna Juwita Sari, Anggota Komisi VII DPR, mengatakan pemerintah melalui Kementerian BUMN menargetkan Pertamina bisa melaksanakan IPO dalam dua tahun ke depan. Padahal, kondisi pasar sekarang sedang lesu. Jika pemerintah ngotot melaksanakan IPO,  sama saja dengan menggadaikan ketahanan energi nasional.

“Erick (Menteri BUMN) minta dua tahun, padahal prosesnya tiga tahun. Kondisi market juga lagi jelek. Yakin tetap mau IPO? Saat ini kan kondisi market jelek. Kalau tetap IPO sama saja menggadaikan ketahanan energi kita” kata Ratna disela rapat dengan Pertamina, Senin (29/6).

Anggota Komisi VII DPR lainnya, Mercy Barends mengatakan pelepasan saham subholding Pertamina ke lantai bursa sama saja dengan setengah privatisasi. Hal ini berarti Pertamina akan berubah fokus untuk mengejar profit. Padahal sebagai BUMN, Pertamina juga bertugas memastikan ketersedian energi seperti misalnya BBM di seluruh pelosok Indonesia.

Menurut Mercy, Pertamina merupakan perusahaan dengan karakteristik yang berbeda dan tidak bisa disamakan secara langsung dengan perusahaan migas lainnya seperti ExxonMobil ataupun BP yang tidak memiliki kewajiban seperti mendistribusikan BBM ke wilayah 3T.

“Pertamina BUMN, beda dengan Exxon dan BP. Di sana mereka tidak punya 3T, kita ada wilayah Maluku, Papua, daerah perbatasan dan lain-lain. Urusan restrukturisasi dan IPO ini juga memberikan dampak ke ketahanan energi,” tegas Mercy.

Menurut dia, restrukturisasi dan rencana IPO subholding harus memberikan dampak positif bagi Indonesia. “Jangan kemudian nanti harus buy back lagi seperti Indosat, harganya sudah 90 kali lipat. Jangan sampai ini terjadi,” ujar Mercy.

Paparan roadmap IPO disajikan dalam RDP Komisi VII-Pertamina

Data Pertamina menyebutkan rencana IPO memerlukan waktu tidak sebentar. Dalam jangka waktu 1-3 tahun ke depan persiapan pre IPO harus dilakukan, di antaranya value creation, investment thesis serta operational and financial excellence. Baru kemudian dilanjutkan dengan proses berikutnya persiapan sebelum benar-benar melakukan penawaran ke publik, seperti persiapan internal dibantu oleh underwriter dan profesi penunjang. Belum lagi evaluasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI), demand pooling dan penentuan harga dan dilanjutkan IPO kemudian listing dan trading. Proses tersebut bisa dikerjakan dalam waktu 6-12 bulan setelah persiapan pre IPO selesai.

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, mengatakan tidak semudah itu melaksanakan IPO, Perlu persiapan jika perusahaan mau ditawarkan ke publik, apalagi tentu tujuan IPO adalah mendapatkan dana segar sehingga perlu persiapan matang agar nanti harganya pun tidak jatuh.

“Seperti yang kami jelaskan setelah restrukturisasi, privatisasi. Kesiapan untuk IPO pasti ada pre kondisi yang harus dicapai dulu kami sedang melakukan itu, IPO perlu market cap yang baik. Restrukturisasi satu bagian saja sehingga punya market cap, baru siap IPO,” kata Nicke.(RI)