JAKARTA – PT Bukit Asam Tbk memiliki rencana jangka panjang yang memasukkan Energi Baru Terbarukan dalam salah satu pilar energi yang ada di Bukit Asam untuk men-support green energy dan beyond coal perusahaan.

Fuad IZ Fachroeddin, Direktur Pengembangan PT Bukit Asam Tbk, mengatakan pada Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) hingga 2050, pengembangan EBT Bukit Asam cukup ambisius dan terukur karena mempunyai kelebihan dalam konteks lahan pasca tambang. Ini merujuk bahwa tantangan dalam pengembangan EBT, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) adalah ketersediaan lahan dan tarif yang atraktif bagi pembeli.

“Kami sudah hitung dengan cermat untuk address dua hal tersebut,” kata dalam Webinar SUKSE2S bertajuk Pengembangan PLTS untuk Kemerdekaan Energi; Sampai Kapan Harta Karun Terbesar di Indonesia Disia-siakan?, Kamis (26/8).

Selain Fuad, hadir menjadi pembicara dalam webinar yang digelar Editor Energy and Mining Society (E2S) itu, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Baru Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya, Direktur Pengembangan dan Niaga PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) Iwan Purnama, Wakil Direktur Utama & Group CEO PT Indika Energy Tbk Azis Armand, Vice President Technical & Engineering Pertamina Power Indonesia Norman Ginting dan Direktur Utama PT Sky Energy Indonesia Tbk Christoper Liawan.

Fuad mengatakan Bukit Asam sudah menyediakan 200 hektar lahan di Ombilin. Serta dua lokasi lain, yakni di Tanjung Enim dan Kalimantan Timur. Proyek tersebut akan dikembangkan bertahap hingga memiliki kapasitas hingga 300 MW.

“Di tiga titik tersebut rencana besar kami. Semoga PLN bisa approve masuk RUPTL. Jadi ketersediaan lahan sudah ada, lalu kami juga ingin memberikan value ke PLN,” kata dia.

Norman mengungkapkan PPI yang juga Subholding Pertamina New Renewable Energy, menargetkan 50 MW sampai 50 MW hingga lima tahun ke depan. Proyek PLTS Pertamina dengan potensi 1,5 GW degan target PLTS sebesar 500 MW.

“Untuk merealisasikan target kapasitas terpasang 50 MW dari PLTS pada 2021, termasuk di SPBU Pulau Jawa, perlu dukungan manufaktur dan EPC lokal. PLTS ini tidak hanya digunakan untuk perumahan, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan listrik di sistem LNG Badak, termasuk di Dumai,” kata dia.

Mnurut Norman, tantangan pengembangan bisnis PLTS di Indonesia adalah segregated networks, tarif listrik intermitten, grid constrain, dan regulasi. “Saya juga melihat hal lain, seperti proses perizinan karena ada isu over supply sehingga Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menutup ruang bagi pengembang yang akan membangun PLTS. Hal ini menjadi kendala. Hal-hal seperti ini kita harapkan ada fasilitasi dari pemerintah sehingga bisa dipercepat pengembangannya,” kata dia.

Untuk kandungan local, Pertamina sedang mendorong manufaktur lokal untuk bisa memenuhi kebutuhan pembangunan PLTS. Kapasitas domestik masih belum mampu, isu tidak hanya terkait kapasitas pabrik tapi juga terkait dengan pricing-nya. “Ini menjadi tantangan untuk memaksimalkan potensi energi surya dalam negeri,” kata dia.

Sementara itu, Sky Energi berupaya mendukung upaya pemerintah untuk mendorong penggunaan PLTS melalui ekspansi kapasitas produksi. Sky Energy yang memproduksi solar cell dan solar modul telah menyiapkan pabrik baru. Produk perusahaan sejauh ini sudah diekspor ke berbagai negara seperti Australia, Amerika Serikat dan Kanada. “Komitmen ke depannya perbesar TKDN untuk mendukung program pemerintah,” kata Christoper.(RA)