JAKARTA – Pemerintah akan mengubah skema kontrak panas bumi dengan meniru tata kelola pada sektor migas yang menggunakan skema cost recovery. Skema tersebut dinilai relevan diterapkan lantaran sifat dari kegiatan panas bumi, terutama saat eksplorasi mirip dengan migas.

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan saat ini jajarannya tengah melakukan kajian skema baru dalam kontrak panas bumi. Tidak menjiplak langsung konsep cost recovery pada sektor migas, namun secara konsep kemungkinan besar akan mengikuti skema tersebut. Untuk tahap awal akan diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk harga listrik Energi Baru Terbarukan (EBT).

“Kami enggak bilang eksplisit mengenai cost recovery, tetapi mengurangi risiko pengembang di depan. Intinya bisa didapat biaya harga listrik murah jangka panjang. Jadi kami memikirkan formula yang mirip-mirip itu (cost recovery),” kata Arifin di Jakarta, Kamis (9/1).

Menurut Arifin, dalam kegiatan eksplorasi panas bumi sekarang yang terjadi adalah risiko ditanggung pelaku usaha dalam hal ini produsen panas bumi di depan alias sebelum ditemukan cadangannya dan belum ada kepastian terjual listriknya. Kondisi ini tentu menimbulkan risiko tinggi yang menyebabkan harga listrik tinggi lantaran risiko tersebut dikonversi menjadi harga listrik.

“Kalau semua harga risiko di top up di depan, terus kemudian dipukul rata ke harga, harganya lebih tinggi. Jadi harus dikuranngi (iesiko),” kata Arifin.

Data Kementerian ESDM mencatat hingga 2019 total kapasitas terpasang panas bumi sebesar 2.130,6 megawatt (MW). Hanya bertambah sekitar 182,3 MW dari total kapasitas terpasang pada 2018 sebesar 1.948,3 MW.

Gairah investasi panas bumi pada tahun lalu juga mencapai titik nadir lantaran tidak ada satupun wilayah kerja panas bumi (WKP) yang dilirik atau diminati dari total tiga WKP yang ditawarkan pemerintah.

FX Sutijastoto, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, mengatakan konsep cost recovery pada kegiatan panas bumi  bisa diterapkan, namun tidak benar-benar sama. Dalam era sekarang, harga listrik kompetitif menjadi yang utama, termasuk panas bumi harus bisa lebih murah harganya dibandingkan pembangkit listrik lainnya agar bisa dimanfaatkan dengan optimal.

Pemerintah juga berinisiatif untuk ikut menanggung bersama risiko dalam kegiatan panas bumi dengan catatan harga listriknya murah ke masyarakat

“Sekarang solar energy kalau di Kamboja sudah sampai US$3,8 sen per KWh, Sekarang dengan yang sampai US$4 sen per KWh itu kan hanya US$9 sen per kWh, panas bumi ada di kita resources-nya, masalahnya di risiko. Cost-nya masih tinggi US$10-US$11 sen per kWh. Ini bisa enggak risiko ditanggung pemerintah, biaya eksplorasi dibiayai pemerintah,” ungkap Sutijastoto.

Risiko yang ditanggung pengembang panas bumi selama ini tidak hanya dari sisi teknis, tapi juga nonteknis. Misalnya untuk pembangunan jalan sebagai akses peralatan, dan pembangunan berbagai fasilitas pendukung lainnya di masyarakat. Komponen itu ternyata bisa cukup memberikan porsi besar terhadap harga listrik dan bisa mencapai US$3 sen per kWh.

“Kalau sudah pasti baru dibayar pengembang. Itu kan kembangkan EBT panas bumi, terutama ada bangun jalan untuk alat-alatnya, cost-nya. Lumayan bisa US$2-US$3 sen per kWh, masuk komponen capital expenditure (Capex). Itu bisa dikompensasi, itu kan jalan pemerintah, daripada pemerintah mengeluarkan APBN untuk jalan mending dikompensasi saja,” kata Sutijastoto.(RI)