JAKARTA – Berbagai target yang disusun dalam peta jalan Bahan Bakar Nabati (BBN) sejak 2008 untuk bioetanol, biodiesel dan minyak nabati murni, diklaim hanya target konsumsi biodiesel solar sebesar 20% yang tercapai pada 2019. Padahal, Indonesia telah mengembangkan BBN sejak 2006 sebagai respon kenaikan harga minyak bumi dan meningkatnya impor bahan bakar seiring dengan anjloknya produksi minyak mentah dalam negeri.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan pengembangan biofuel yang masih terfokus pada satu bahan baku, yakni crude palm oil (CPO) yang juga menjadi ancaman akan keberlanjutannya.

“CPO juga dipakai untuk makanan, kosmetik dan sebagainya, sehingga perlu melakukan diversifikasi bahan baku untuk biofuel,” kata Fabby, dalam diskusi virtual Selasa (4/5).

Studi tentang analisis siklus hidup biofuel generasi pertama (termasuk minyak sawit) menunjukkan bahwa alih fungsi lahan untuk bahan baku BBN generasi pertama berpotensi mengeluarkan lebih banyak emisi GRK daripada BBM.

Traction Energy Asia memperkirakan emisi gas rumah kaca (GRK) biodiesel Indonesia dapat mencapai 20 kali lipat emisi pembakaran BBM ketika terjadi konversi hutan gambut.

Kajian IESR terhadap pengembangan BBN di Indonesia yang tertuang dalam “Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia”, merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan pengembangan BBN yang mempertimbangkan secara matang implikasi ekonomi, lingkungan, dan sosial dari BBN, serta ketidakpastian permintaan BBN di masa mendatang.

Dari segi sosial dan ekonomi, industri BBN dan perkebunan kelapa sawit turut menyokong ekonomi di tingkat lokal melalui peningkatan nilai output pertanian, output manufaktur, dan PDRB.

Disisi lain, masih dibayangi dengan berbagai permasalahan terkait kesehatan dan keselamatan pekerja, pekerja anak, diskriminasi, khususnya di perkebunan kelapa sawit. Ditambah lagi, perkebunan kelapa sawit juga kerap menimbulkan konflik lahan dan hilangnya akses sumber daya bagi masyarakat lokal.

“Selain isu keekonomian, lingkungan dan sosial, pengembangan BBN juga perlu memperhatikan perkembangan teknologi alternatif, terutama di sektor transportasi,” kata Fabby.(RA)