JAKARTA – Ford Foundation di Indonesia, Institute For Essential Services Reform (IESR), dan African Climate Foundation (ACF), dengan dukungan dari Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP) menyelenggarakan Just Energy Transition Partnership (JETP) Convening for Exchange Learning, yang bertujuan untuk memfasilitasi forum pertukaran pembelajaran antar pemangku kepentingan. Acara yang diselenggarakan pada 27-28 Juni 2023 di Jakarta ini mempertemukan peserta dari Indonesia, Afrika Selatan dan Vietnam untuk membangun jaringan, berbagi wawasan, dan bertukar pembelajaran.

Pada COP26 pada November 2021 di Glasgow, Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk Afrika Selatan diumumkan kepada koalisi pemerintahan termasuk Uni Eropa, Prancis, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat (secara kolektif disebut sebagai International Partners Group, grup IPG). Sejak saat itu, IPG mendapat dukungan tambahan dari negara-negara seperti Spanyol, Denmark, Norwegia, Italia, Irlandia, Kanada, dan Jepang.
Tujuan utama dari dana awal JETP senilai US$8,5 miliar adalah untuk mempercepat adopsi sumber energi terbarukan sambil menghapus sistem energi berbasis fosil secara bertahap, yang akan mendukung masyarakat yang tangguh terhadap perubahan iklim yang mendorong lapangan kerja dan mata pencaharian selama 3-5 tahun ke depan.

Pada KTT G7 di Jerman pada Juni 2022, kelompok tujuh negara maju tersebut menyatakan dukungan mereka untuk memperluas peluncuran JETP. Indonesia adalah negara kedua setelah Afrika Selatan yang meluncurkan inisiatif JETP selama acara sampingan G20 di Bali pada
November 2022. JETP di Indonesia akan memobilisasi US$20 miliar selama 3-5 tahun ke depan yang terdiri dari US$10 miliar pendanaan publik yang akan dimobilisasi oleh anggota IPG dan
sebesar US$10 miliar dari keuangan swasta yang akan dimobilisasi dan difasilitasi oleh Kelompok Kerja Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).

Pada Desember 2022, Vietnam dinobatkan sebagai negara JETP ke-3 dengan dana sebesar US$15,5 miliar selama 3 hingga 5 tahun ke depan melalui kombinasi instrumen keuangan publik (US$7,75 miliar) dan pembiayaan swasta (US$7,75 miliar). Baik Indonesia dan Vietnam
sedang dalam proses menyusun rencana investasi, dan struktur tata kelola untuk mewujudkan JETP mereka. Beberapa negara lain juga telah memulai prosesnya sendiri, termasuk India, Senegal, dan Nigeria.

“Pertemuan ini akan menjadi wadah bagi para pemangku kepentingan untuk membahas tujuan penting dan menciptakan ruang untuk dialog, serta untuk mendokumentasikan dan mensintesis pembelajaran dari negara-negara JETP saat ini dan di masa depan,” ungkap Anthony Bebbington, Direktur Sumber Daya Alam dan Program Internasional Perubahan Iklim di Ford Foundation, Selasa(27/6).

Ia menyampaikan bahwa Ford Foundation dan pemangku kepentingan lainnya seperti IESR, ACF dan GEAPP, berkomitmen untuk mendukung inisiatif yang mempromosikan
keadilan sosial, pembangunan yang adil, dan kelestarian lingkungan. “Dengan menjadi tuan rumah JETP Convening, kami bertujuan untuk berkontribusi pada misi JETP yang lebih luas dalam menciptakan masa depan energi yang adil, merata, dan berkelanjutan untuk semua,” ujarnya.

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, menekankan pentingnya kolaborasi.
“JETP Convening menyediakan platform yang unik bagi para pemangku kepentingan untuk terlibat, bertukar ide, dan menjalin kemitraan. Melalui sesi ini , kami bertujuan untuk mengembangkan rencana yang dapat ditindaklanjuti dan mengidentifikasi praktik terbaik yang
dapat diterapkan dalam konteks negara-negara JETP. Dengan berbagi pelajaran dan tantangan, kami dapat meningkatkan efektivitas inisiatif transisi energi kita,” ujar ya.

Berdasarkan mekanisme JETP, Indonesia menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca di sektor ketenagalistrikan Indonesia pada tahun 2030 mencapai 290 juta ton CO2 (dari estimasi baseline mencapai 357 juta ton CO2); berusaha untuk mencapai emisi net zero di sektor ketenagalistrikan pada tahun 2050; dan mempercepat penggunaan energi terbarukan untuk mencapai 34% dari bauran energi listrik pada tahun 2030.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menekankan pentingnya pertukaran pengetahuan. Ia menyebutkan bahwa mengembangkan rencana yang dapat ditindaklanjuti dan mengidentifikasi praktik terbaik yang dapat diterapkan dalam konteks setiap negara JETP sangatlah penting.
“Dengan target yang ingin dicapai Indonesia, kita perlu memastikan rencana dan upaya investasi dapat diakses oleh para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil dan komunitas,” ujar Fabby.

Negara-negara yang memulai JETP akan memiliki pendekatan yang berbeda dalam hal konteks transisi, kesehatan fiskal, sektor-sektor prioritas dekarbonisasi, dan pengembangan bauran energi yang digunakan untuk meningkatkan akses energi. Semua hal tersebut relevan dengan desain dan implementasi JETP. Transisi yang adil juga merupakan proses jangka panjang untuk menggeser ekonomi dan masyarakat menuju jalur pembangunan yang rendah karbon, lebih adil, dan inklusif.

Saliem Fakir, Direktur Eksekutif African Climate Foundation (ACF), mengatakan perubahan struktur sistem energi suatu negara akan mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan. Dengan demikian, JETP tidak dapat diukur hanya dengan pengurangan emisi.
“Transisi energi juga harus berkeadilan dan oleh karena itu sangat penting untuk menggali dan berbagi pembelajaran, tantangan, dan peluang untuk inovasi di semua fase perjalanan JETP suatu negara,” katanya.(RA)