JAKARTA – Pemerintah baru saja menerbitkan aturan main baru dalam sistem kontrak blok migas. Kali ini pemerintah tidak lagi mewajibkan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) menggunakan skema gross split, skema kontrak yang dibuat pada era Ignasius Jonan dan Arcandra Tahar di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Para pelaku usaha yang tergabung dalam Indonesia Petroleum Association (IPA) menyambut baik adanya aturan main baru tersebut.

Marjolijn Wajong, Direktur Eksekutif IPA,  mengatakan fleksibilitas dari suatu proyek migas membuat tingkat keeknomian semakin baik.

“Setiap proyek migas memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pemberlakuan skema kontrak, baik gross split maupun cost recovery sangat bergantung pada karakteristik proyek yang ada,” kata Marjolijn, Senin (3/8).

Menurut dia, dengan meningkatnya keekonomian maka bukan tidak mungkin investasi para pelaku usaha juga bisa ditingkatkan. “Jadi, terbitnya Permen ESDM yang memberikan kebebasan bagi KKKS untuk memilih skema kontrak kerja sama diharapkan dapat meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di Indonesia,” ujar Marjolijn.

John S Karamoy, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Migas (Aspermigas), mengatakan PSC cost recovery dan PSC gross split itu sebenarnya sama saja. Penghasilan dari kedua PSC system tersebut dinyatakan dalam pembagian produksi migas.

Pada umumnya, pembagian produksi minyak bumi adalah 60% untuk pemerintah dan 40% untuk investor. Dalam PSC cost recovery, bagian investor terdiri dari cost recovery oil (dalam barel – berkisar di 25% produksi) dan profit oil (dalam barel – berkisar di 15% produksi).

Dalam PSC gross split, pembagian produksi sudah dapat dihitung sebelum melakukan eksplorasi. Yang mana yang menguntungkan pemerintah dan yang menguntungkan investor itulah yang harus menjadi pilihan.

“Jika investor memilih salah satu dari dua PSC system tersebut, apakah pemerintah mau mendukung penuh dengan pilihan tersebut?,” kata John.

Menurut John, investor menginginkan apapun kebijakan yang berubah, hasil akhir bagian investor tidak berubah. “Inilah yang disebut kepastian hukum dari pandangan investor,” tukas dia.

John mengatakan bahwa yang menjadi masalah bagi investor di Indonesia juga adalah kenyataan bahwa proses persetujuan pengembangan (Plan of Development/PoD) dari penemuan migas yang telah mereka peroleh sebagai hasil dari eksplorasi masih bertele-tele, apalagi dibebani dengan biaya-biaya tambahan.

“Dalam PSC system, ada ketentuan bahwa persetujuan POD oleh pemerintah disertai dengan tambahan kalimat the approval of which will not be unreasonably withheld,” tegas John.

Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.

Ketentuan Pasal 2 mengalami perubahan, sehingga Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa Menteri (ESDM) menetapkan bentuk dan ketentuan pokok kontrak kerja sama yang akan diberlakukan untuk suatu wilayah kerja dengan mempertimbangkan tingkat resiko, iklim investasi dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara.

Pasal 2 ayat 2 menyatakan, penetapan bentuk dan ketentuan pokok kontrak kerja sama dapat menggunakan bentuk:
a. Kontrak Bagi Hasil Gross Split
b. Kontrak Bagi Hasil dengan mekanisme pengembalian biaya operasi, atau
c. Kontrak kerja sama lainnya..

Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat 3, dalam hal Menteri (ESDM) menetapkan bentuk dan ketentuan pokok kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat 2, paling sedikit memuat persyaratan yaitu kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan, pengendalian manajemen operasi berada pada SKK Migas dan modal dan resiko seluruhnya ditanggung kontraktor.

Kontrak Bagi Hasil Gross Split sebagaimana dalam Pasal 2 ayat 2 huruf a, menggunakan mekanisme bagi hasil awal (base split) yang dapat disesuaikan berdasarkan komponen variabel dan komponen progresif.

Pemerintah menghapus ketentuan Pasal 24 yang mengatur mengenai pemberlakuan Kontrak Bagi Hasil Gross Split bagi pengelolaan terhadap wilayah kerja yang akan berakhir jangka waktu kontraknya dan tidak diperpanjang, serta wilayah kerja yang akan berakhir dan diperpanjang.

Selain itu, Permen ini menghapus Pasal 25 huruf b, mengubah huruf d dan menambahkan satu huruf yaitu e.

Pasal 25 juga diubah sehingga menjadi:
a. Kontrak kerja sama yang telah ditandatangani sebelum Permen ini ditetapkan, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak yang bersangkutan.
b. Dihapus.
c. Kontraktor yang kontrak kerja samanya telah ditandatangani sebelum Permen ini ditetapkan, dapat mengusulkan perubahan bentuk kontrak kerja samanya menjadi Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
d. Dalam hal Kontraktor mengusulkan perubahan bentuk kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud dalam huruf c, biaya operasi dapat diperhitungkan menjadi tambahan split bagian Kontraktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1.
e. Terhadap penunjukan PT Pertamina (Persero) atau afiliasinya sebagai pengelola wilayah kerja baru yang kontrak kerja samanya belum ditandatangani, Menteri menetapkan bentuk kontrak kerja samanya.(RI)