JAKARTA – Pelaku usaha produsen nikel nasional yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) siap untuk tidak lagi menjual bijih nikel ke luar negeri atau diekspor. Namun ada beberapa syarat yang harus dijamin pemerintah

Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal APNI, mengatakan syarat utama dari prodsen nikel yang harus dipenuhi pemerintah jika tidak ada nikel yang dijual ke luar negeri adalah terkait harga nikel dalam negeri.

“Harga jual dalam negeri harus sesuai HPM terhitung 1 November 2019,” kata Meidy saat dihubungi di Jakarta, Selasa (29/10).

Menurut Meidy, batasan kadar ore seperti ekspor harus kadar rendah, dengan kadar maksimal 1,7%. Penilaian kadar nikel akan ada dua surveyor untuk pelabuhan muat dan bongkar yang melakukannya.

“Jika terjadi perbedaan kadar, harus menghadirkan surveyor ketiga yang di sepakati bersama,” tukasnya.

Pemerintah kata Meidy juga harus memberikan sanksi tegas terhadap pemilik pabrik smelter atau perusahaan pemegang IUP yang tidak mengikuti Harga Patokan Mineral (HPM) yang dikeluarkan pemerintah.

Untuk memastikan tata kelola jual beli nikel dalam negeri diperlukan aturan khusus. Pasalnya selama ini para produsen nikel lebih memilih menjual nikelnya ke luar negeri lantaran harga nikel dalam negeri  dianggap jauh dibawah harga nikel internasional.

“APNI menunggu kepastian hukum, aturan regulasi yang mengatur tata niaga nikel domestik. APNI menjadi mata dan saksi di lapangan untui ikut memantau perdagangan nikel ore,” ungkap Meidy.

Pemerintah sebelumnya menetapkan larangan ekspor nikel pada 2022, namun ketetapan itu direvisi dan dipercepat menjadi 1 Januari 2020 melalui Permen 11 Tahun 2019. Aturan yang ditetapkan Menteri ESDM saat masih dijabat Ignasius Jonan itu pun bakal kembali diubah.

Bahlil Lahadiahlia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), mengatakan para pengusaha nikel dan smelter telah mencapai kata sepakat, sehingga percepatan larangan nikel bisa terjadi.

Kesepakatan itu tidak dituangkan ke dalam peraturan apapun dan murni atas kesadaran para pengusaha di bidang tersebut.

Bahlil mengatakan pada intinya para pihak telah menyadari bahwa hasil bumi dalam negeri perlu diberikan nilai tambah ketimbang diekspor dalam bentuk mentah. Dia mencontohkan, jika nikel diekspor dalam kondisi mentah sekitar US$ 45 per ton sedangkan dengan nilai tambah bisa jadi US$ 2.000 per ton

“Atas diskusi panjang secara formal kesepakatan bahwa ekspor ore selesai Januari 2020, mulai hari ini (28/10) kami sepakati tidak lagi melakukan ekspor ore,” kata Bahlil.(RI)