Direktur IMA

Syahrir Abubakar.

JAKARTA – Indonesian Mining Association (IMA) mendesak agar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) serta UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur pelaksanaan otonomi daerah direvisi.

Direktur Eksekutif IMA, Syahrir Abubakar menilai, kedua UU yang terbit di era reformasi tersebut telah banyak menimbulkan kerancuan, dalam pelaksanaan kegiatan pertambangan di Indonesia. Kedua UU itu juga bertentangan dengan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam khususnya pertambangan.

Pasal 8 UU Minerba menyatakan, kewenangan mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) ada ditangan pemerintah kabupaten/kota. Namun dalam pasal 112B Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan disebutkan, wewenang perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dalam bentuk IUP, berada ditangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Kedua hal tersebut berpotensi untuk dipertentangkan,” ujarnya di Jakarta, Rabu, 15 Agustus 2012. IMA sendiri, lanjutnya, berpegang pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Pasal ini menyiratkan maksud, pengusaan sumber daya alam yang ada di perut bumi yakni minerba, ada ditangan Pemerintah Pusat.

Namun sayangnya, kata Syahrir, ketentuan UUD 1945 ini dilanggar oleh pasal 8 UU Minerba, yang menyerahkan kewenangan menerbitkan IUP kepada pemerintah daerah (pemda). Padahal sangat jelas, minerba merupakan kekayaan alam yang bernilai strategis. Seharusnya wewenang pengelolaannya tetap berada di Pemerintah Pusat. Ditambah lagi pasal 112B PP 24/2012, semakin menambah kerancuan.

Demikian pula dengan UU 32/2004, yang mengatur bahwa wewenang perizinan pengelolaan sumber daya alam termasuk pertambangan, berada ditangan pemerintah kabupaten/kota. Jelas regulasi yang lebih dikenal dengan UU Otonomi Daerah ini, bertentangan dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sehingga bisa dilihat, sejak otonomi daerah diterapkan di Indonesia, ribuan IUP diterbitkan pemda tanpa verifikasi yang jelas, sehingga menimbulkan kekacauan hingga saat ini.

Sebelumnya pada Rapat Kabinet Terbatas di Jakarta, 7 Agustus 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, demi menertibkan pengelolaan sumber daya alam pertambangan, ke depan wewenang penerbitan IUP harus diawasi oleh Pemerintah Provinsi, sebagai organ Pemerintah Pusat di daerah.

“Upaya Presiden untuk menertibkan pengelolaan pertambangan itu akan lebih berhasil, jika UU Minerba dan UU Otonomi Daerah direvisi. Revisi kedua UU ini juga akan menghapus kerancuan dalam proses perpanjangan KK maupun PKP2B menjadi IUP, dan lebih memberikan kepastian hukum,” tandas Syahrir.

Ia menambahkan, Pemerintah Pusat perlu mempertimbangkan penempatan pejabat dari Kementerian ESDM sebagai perwakilan negara di kantor dinas ESDM tingkat Provinsi. Dengan melakukan hal ini, negara akan dapat mengendalikan aktivitas di pemerintahan kota/kabupaten, terutama atas aktivitas pertambangan yang melibatkan komoditi pertambangan yang bersifat vital atau strategis.

Pasal lain UU Minerba yang perlu direvisi, kata Syahrir, ialah pasal 169. Dalam pasal ini, antara huruf (a) yang menyatakan menghormati KK/PKP2B yang sudah ada sebelum UU Minerba lahir, dan huruf (b) yang meminta KK/PKP2B menyesuaikan dengan ketentuan UU Minerba, saling bertentangan. Huruf (c) pasal ini pun, dalam prakteknya justru bertolak belakang dengan keinginan pemerintah meningkatkan penerimaan negara dari sektor pertambangan.