JAKARTA – Rencana Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk membentuk holding panas bumi disambut baik banyak pihak. Holding diharapkan akan ada entitas baru yang akan menjadi entitas terbesar unuk urusan panas bumi di level internasional.

Namun, ada konsekuensi yang harus diterima holding nanti. Karena kemungkinan pendanaan pemerintah tidak akan bisa dimanfaatkan holding panas bumi. Apalagi nanti ada juga rencana holding untuk melantai bursa atau Initial Public Offering (IPO).

Heri Setiawan, Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, menyatakan apabila strukturnya menghilangkan status BUMN, maka pendanaan pemerintah akan hilang seperti fasilitas subsidiary loan agreement (SLA). “Penjaminan direct lending itu akan hilang,” kata Heri disela diskusi virtual, Kamis (11/3).

Menurut Heri pemberian Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang selama ini diberikan ke BUMN juga harus dipastikam jika ada holding nanti.

“Apakah statusnya akan dikembalikan karena statusnya kalau anak usaha atau cucu, tidak akan di-treat sebagai BUMN,” ungkap Heri.

Heri menjelaskan saat ini kajian pembentukan holding masih berlangsung termasuk melibatkan Kementerian Keuangan karena sedang dilihat struktur pembiayaan panas bumi ke depan sepert apa.

“PLTP ini kan memang risikonya besar, ini kapasitasnya jadi besar. Proses sedang berjalan, salah satu kami ikut urun rembuk. Pertimbangan aspek risiko APBN dan pertimbangan pengembangan geothermal ini saat ini sedang kami timbang-timbang, struktur mana yang optimal. Apakah masih dibutuhkan yang sifatnya komersial atau bumn yang sifatnya penugasan,” jelas Heri.

Ada tiga perusahaan yang disiapkan pemerintah untuk bergabung dan menjadi holding panas bumi yang ditargetkan rampung tahun ini yakni Pertamina Geothermal Energy (PGE), PT Geo Dipa Energi serta PT PLN Gas & Geothermal (PLN GG). (RI)