JAKARTA – Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatatkan kondisi kapasitas pembangkit listrik di tanah hingga pertengahan tahun 2021 sudah mencapai 73.341 Megawatt (MW). Dari kapasitas sebesar itu pembangkit berbahan batu bara masih mendominasi.

Rida Mulyana Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, menyatakan pembangkit berbasis fosil masih berperan penting sebagai penopang produksi listrik, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

“Secara generation cost, PLTU memang masih murah. Jadi biar tarif listriknya tidak mahal ke rakyat sehingga meningkatkan daya beli masyarakat dan membuat industri makin kompetitif,” ungkap Rida, Jumat (24/9).

PLTU mendominisasi sebesar yaitu 47% atau sekitar 34.856 MW, disusul PLTG/GU/MG 20.938 MW (28%), PLTA/M/MH 6.255 MW (9%), PLTD 4.932 MW (7%), PLTP 2.174 MW (3%), PLTU M/G 2.060 MW (3%), dan PLT EBT lainnya 2.215 MW (3%). “Betul, (komposisi) ini tidak bisa dipertahankan terus menurus. Meskipun kita punya banyak batubara. Lambat laun akan habis,” ujar Rida.

Sementara dari sisi produksi listrik, realisasi volume PLTU hingga periode yang sama jauh besar sebesar, yaitu 65,30% atau dari membutuhkan batubara sebesar 32,76 juta ton. Sisanya dipasok dari gas 17% (184.079 BBTU), Air 7,05%, Panas Bumi 5,61%, BBM 3,04%, BBN 0,31%, Biomassa 0,18%, Surya 0,04% dan EBT lainnya 0,14%.

Pemerintah kata Rida menjanjikan Pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) akan terus mengalami peningkatan dalam kurun waktu sepuluh tahun mendatang seiring rencana Pemerintah melakukan penambahan kapasitas pembangkit listrik sekitar 40.000 MW.

Menurutnya dalam kurun waktu 10 tahun ke depan komposisi pembangkit listrik hijau akan mula menggantikan pembangkit berbahan baku fosil seperti batu bara maupun minyak bumi.

“Kita pastikan dari tambahan 40.000 MW selama 10 tahun ke depan, hampir 52%berbasis EBT berbagai jenis,” tegas Rida.