JAKARTA – Program Corporate Social Responsibility (CSR) dinilai sudah tidak relevan untuk dijalankan sebagai kewajiban perusahaan. Pemerintah diminta untuk mengkaji dan mengevaluasi ketentuan bagi perusahaan tambang, baik migas maupun mineral dan batu bara yang wajib menyiapkan dana CSR setiap tahunnya.

Faisal Basri, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengatakan selama ini kewajiban CSR yang digelontorkan perusahaan justru menjadi alat politik para kader partai di DPR. Kewajiban CSR harus dihilangkan karena justru tidak memberikan manfaat baik bagi perusahaan maupun masyarakat yang seharusnya merasakan kehadiran perusahaan.

“Hanya di Indonesia yang mewajibkan CSR.  Nanti lewat partai-partai, politis kacau,” kata Faisal dalam diskusi melalui video conference, Rabu (15/4).

Menurut Faisal, pemberdayaan masyarakat sekitar wilayah operasi sebuah perusahaan bukanlah kewajiban melainkan investasi yang mau tidak mau pasti dilakukan perusahaan jika mau kegiatannya berlangsung lama serta berkelanjutan.

Dengan kesejahtaraan yang dibangun bersama dengan perusahaan maka dengan sendirinya masyarakat sekitar akan turut melindungi keberlangsungan usaha perusahaan. Esensi utama kewajiban CSR adalah cukup dengan kewajiban membayar pajak.

Menurut Faisal, setiap perusahaan memandang bahwa investasi untuk membuat lingkungan lebih berdaya, jadi memberdayakan lingkungan bukan kewajiban tapi investasi.

“Bayangkan kalau tambang rakyatnya sejahtera, kan tidak ada pencuri. Serahkan pada perusahaan itu CSR, yang wajib itu pajak, bagaimana mereka menghargai lingkungan. Ada ongkos yang harus dibayar. CSR ini akal-akalan politisi yang makin susah korupsi merek cari sumber lain, memalukan di DPR minta ke Pertamina, bagi saya itu sudah keterlaluan” kata Faisal.

Sebagai gantinya, pemerintah lebih baik membuat mekanisme sovereign wealth funds atau pungutan wajib kepada negara dari para pelaku usaha. Tujuannya adalah untuk mendapatkan simpanan sehingga manfaat dari pengerukan sumber daya alam masa kini bisa dirasakan oleh generasi yang akan datang. Dana tersebut bisa digunakan sebagai cadangan jika ada kebutuhan mendesak sehingga pemerintah tidak perlu lagi berhutang. Misalnya untuk penanganan wabah corona ini, pemerintah kata Faisal tidak perlu repot cari pinjaman atau realokasikan biaya dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Mekanisme SWF ini kata dia telah terbukti misalnya di Norwegia yang SWF nya telah mencapai US$ 1,2 triliun.

“Sisihkan dari dananya yang dikelola neagra untuk generasi akan datang tapi bukan CSR. Perlakukan CSR sebagai inisiatif yang muncul dari perusahaan dalam bentuk investasi,” kata Faisal.(RI)