NIAT untuk mengubah jalan hidupnya kandas hancur berantakan. Keputusan untuk mengadu nasib di bumi Sumatera ternyata membawa Khairil Anam (39) masuk ke dalam masa kelam. 1.500 pohon jeruk yang di tanam di lahan seluas 2 hektar (ha) yang jadi harapan hancur, mati hanya dalam waktu 8 hari. “Kiamat” datang begitu cepat.

Khairil menceritakan tahun 2000 dia diajak oleh pamannya untuk memulai kehidupan baru di desa Air Talas, Kecamatan Rambang Niru Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan menjadi petani jeruk. Namun apa mau dikata, tahun 2002 hama datang tanpa peringatan. Ribuan pohon jeruk yang dia tanam hancur diserang hama. Ternyata nasib buruk itu tidak hanya dialami Khairil, tanah di desa Air Talas yang selama ini dikenal sebagai penghasil jeruk diserang hama secara masif. Bahkan untuk menanam jenis tanaman lain juga tidak bisa. Desa penghasil jeruk alami mati suri karena selama beberapa tahun mulai dari tahun 2005 tanah di desa Air Talas tidak ditanami apapun hingga serangan hama secara perlahan berakhir sekitar tahun 2012.

Jeruk memang jadi mata pencaharian utama warga desa Air Talas. Khairil bersama sekitar 340 Kepala Keluarga yang merupakan warga transmigran asal Bali, dimana sekitar 85% dari penduduk di sana memilih jalan menjadi petani dan memiliki kebun jeruk sendiri.

Setelah serangan hama terjadi mulai tahun 2013 beberapa warga desa mulai memberanikan diri untuk kembali menanam jeruk. Hasilnya meskipun tidak sebesar sebelum serangan hama tapi menunjukkan bahwa tanah di Air Talas sudah mulai bisa ditanami kembali.

Khairil kemudian memberanikan diri untuk ikut melakukan apa yang menjadi tujuannya sejak awal hijrah dari Pulau Dewata pada tahun 2015. Perkebunan jeruk di Air Talas kemudian bangkit dan mulai masuki masa kejayaannya. Bahkan masyarakat Lubuklinggau tidak jarang berkunjung ke sana. Air Talas menjadi desa wisata petik jeruk.

Jeruk desa Air Talas mulai masuki masa kejayannya. Namun di tahun 2021 bayang-bayang kehancuran tanaman kembali membayangi desa Air Talas dengan mulai menyerangnya hama jamur upas. Kali ini Khairil lebih siap dan tidak mau jatuh ke lubang yang sama. Dia telah membentengi kebun jeruknya dengan “perisai” istimewa yang mampu menghalau serangan hama.

Sejak tahun 2017 Khairil mulai kembangkan tricoderma secara mandiri, namun selalu gagal dan baru tahun 2019 setelah dirangkul oleh program pembinaan Pertamina EP Limau Field dia mengetahui trik untuk mengolah tricoderma yang benar. “Mulai pakai tricoderma tahun 2017 itu lihat cari sendiri sharing di medsos. Cuma dikatakan cara pemancingannya. Dulu sterilisasi tidak ada, wadah asal,cara penyimpanan salah, padahal pengambilan cendawan harus steril. Mulai masuk Pertamina bersama dinas, dan ada penyuluhan tahun 2019-2020, ternyata pembuatannya harus steril jadi pakai alkohol 70% dulu,” cerita Khairil kepada Dunia Energi di halaman kebun jeruknya di desa Air Talas, Selasa (21/11).

Tricoderma sangat ampuh dalam menahan serangan jamur upas. Khairil menjelaskan bahwa tricoderma berfungsi sebagai pelindung akar, agen hayati yang mampu menekan jamur bakteri lain kemudian membenahi sifat tanah yang keracunan akibat penggunaan pupuk unorganik serta tentu saja menetralkan ph tanah.

Khairil Anam petani jeruk desa Air Talas (Foto/Dok/Dunia Energi)

Penggunaan tricoderma organik ini selain lebih efektif menghalau hama juga jelas jauh lebih efisien ketimbang harus melawan hama menggunakan cairan kimia. Dalam setahun Khairil hanya harus menyediakan dana sekitar Rp200 – Rp300 ribu untuk membuat tricoderma karena ada beberapa bahan yang tetap harus dibeli. Sisanya bahan-bahan tersedia secara gratis seperti limbah dapur berupa nasi putih, air cucian beras serta air hujan. Berdasarkan data yang dihimpun food waste sebanyak 17,6 ton/tahun. “Untuk 200 pohon itu Rp200 – Rp 300 ribu se tahun untuk beli molase (tetes tebu) atau gula merah. Sementara bahan kimia beli NPK 1 juta untuk 200 tanaman beli empat sak itu bulan pertama setahun. Ditambah obat-obatan lain total satu kali aplikasi biayanya Rp7 juta total satu tahun Rp21 juta . Per tahun kita bisa dapat Rp50 juta kalau pakai kimia 45% habis untuk perawatan aja,” jelas Khairil.

Penggunaan tricoderma juga sudah dibuktikan Khairil jauh lebih menguntungkan karena umur tanaman jauh lebih panjang serta saat musimnya dia bisa panen 4-5 kali dalam setahun. “Ini saya sudah delapan tahun tidak rusak. Kalau yang gunakan anorganik saat siklus pertama bagus tapi 5-6 tahun mulai ada kerusakan, petani sulam lagi tapi baru 1 tahun sudah rusak. Itu gara-gara unorganik tinggi,” jelas Khairil.

Dalam perjalanannya peran Khairil bersama dengan Regional 1 PT Pertamina EP Limau Field cukup krusial karena turut serta dalam menyadarkan masyarakat desa Air Talas agar beralih ke penggunaan bahan organik dalam melawan serangan hama. penyuluhan serta bantuan alat prasarana membuat Khairil dan 51 anggota kelompok tani Tunas Hijau sekarang jauh lebih percaya diri dalam mengembangkan kebun jeruk. Hal ini penting guna menekan laju perubahan tanaman yang ditanam dari jeruk ke perkebunan sawit. “Kita mau tanah untuk tanaman jeruk nggak beralih fungsi. Karena kondisi sekarang dari 150 ha lahan, sudah 60 ha jadi kelapa sawit,” ujar dia.

Dengan bantuan dari Pertamina berupa rumah produksi, rumah belajar dengan alat lengkap, lemari khusus sehingga bisa simpan tricoderma di ruang gelap, drum penampungan,  mesin semprot, mesin potong rumput maka kini kelompok tani Tunas Hijau kini sudah bisa produksi tricoderma dalam jumlah besar sehingga bisa dimanfaatkan oleh banyak petani di desa Air Talas.

Apa yang dijalankan oleh Khairil adalah bagian dari Anggrek Dewata atau Agribisnis Penggerak (kembali) Desa Wisata Air Talas. Program Anggrek Dewata memiliki tiga sub-program yang saling terintegrasi, diantaranya BU JUSI (Budidaya Jeruk Siam Organik), BUDE ARTA MAJU (Ibu-Ibu Desa Air Talas Mengolah Jeruk), dan PUTERI JELITA (Pupuk Cair Organik dari Limbah Kulit Jeruk Air Talas). Tujuan utama pada program Anggrek Dewata ini mencoba untuk mengembalikan kondisi awal agrowisata yang berada di Desa Air Talas melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat sehingga tercipta kemandirian dalam masyarakat.

Pengembangan potensi dari buah jeruk di desa Air Talas makin masif didorong dengan menciptakan produk turunan dari Jeruk.

Komang Meliasih, Ketua Wanita Tani (KWT) Sumber Makmur yang merupakan bagian dari program BUDE ARTA MAJU menceritakan para istri para petani Jeruk di desa mulai menyadari ada limbah berupa buah jeruk yang rasanya kurang manis dibuang begitu saja padahal itu juga memiliki nilai ekonomi. Itu yang kemudian diolah menjadi berbagai produk seperti selai, sirup, kue pai susu jeruk.

Tahun 2018 akhirnya KWT mulai terbentuk yang awalnya hanya membuat sirup tapi sering gagal, baru kemudian Pertamina masuk bersama dengan dinas ketahanan pangan. “Dulu peras langsung masak walaupun pakai oengawaet ga tahan 15 hari aja. Dari Pertamina ajak dinas kita peras kemudian diperem dua malam baru masak. Baru ketemu hasilnya bagus,” ungkap Komang.

Rumah produksi KWT Sumber Makmur (Foto/Dok/Dunia Energi)

Meskipun sempat vakum akibat pandemi Covid-19, para ibu memiliki kemauan untuk kembali bangkit. Hal itu disambut Pertamina dengan dukungan penuh melalui penyedian berbagai peralatan memasak, pendampingan untuk pemasaran produk hingga yang terbaru demi meningkatkan kemandirian energi manajemen melengkapi rumah produksi KWT Sumber Makmur dengan Pembangkit Listrik Tenaga Solar (PLTS) yang mampu melistriki lampu, kulkas serta untuk memenuhi alat memasak.

Dengan makin berkembangnya pemasaran kini KWT mampu memenuhi permintaan dalam jumlah besar untuk kuie pai susu atau jeruk yang dijual Rp25 ribu per kotak. “Kalau ada pameran di kabupaten kami diminta pasti, untuk rutin kita pasok ke gerai 20-30 kota setiap minggu,” ujar Komang.

Selain bermanfaat untuk para ibu-ibu limbah jeruk-jeruk asam yang semula tidak bernilai kini justru memiliki nilai ekonomi yang dijual dengan harga sekitar Rp 3 ribu per kg.

Dadang Soewargono, Senior Manager Limau Field, mengungkapkan program Anggrek Dewata telah terbukti merubah sistem pertanian menjadi ramah lingkungan dan mengentaskan angka kemiskinan serta memberikan manfaat lebih dari 900 orang. “Anggrek Dewata menjadi komitmen kami dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat di ring 1 EP Limau Field yg berfokus kepada ESG dan target SDG’s”, ujar Dadang.