JAKARTA – Cadangan listrik di kawasan Pulau Jawa dan Bali dinilai memprihatinkan karena cadangan operasional pembangkit listrik yang tersisa hanya 0,26% dari kapasitas total. Kondisi ini sangat rawan jika terjadi gangguan ataupun kerusakan jaringan, yang dikhawatirkan dapat menimbulkan pemadaman bergilir.

Merujuk pada data statistik ketenagalistrikan Kementerian ESDM pada 18 September 2018, cadangan listrik Jawa-Bali berada dalam kondisi siaga. Hal itu terlihat dari daya mampu pasang hanya 26.300 megawatt (MW). Padahal beban puncak bisa mencapai 26.231 MW. Itu berarti cadangan operasional listrik di Jawa-Bali hanya 69,27 MW (atau sekitar 0,26 %).

Ali Ahmudi Achyak, pakar energi dan listrik dari Universitas Indonesia, mengatakan kondisi tersebut sangat memprihatinkan dan rawan terjadi kekurangan pasokan yang berakibat adanya pemadaman bergilir, bahkan bisa permanen jika terjadi kerusakan jaringan baik akibat faktor internal maupun eksternal.

“Apalagi saat ini memasuki musim penghujung tahun yang sangat berpotensi menimbulkan gangguan kelistrikan akibat cuaca dan dampak ikutannya,” kata Ali, Senin (12/11).
Idealnya, lanjut Ali, suatu negara memiliki cadangan operasional pasokan listrik berkisar 25%-30%. Hal serupa juga idealnya ada di setiap region. “Faktanya, secara nasional cadangan operasional Indonesia kurang dari 10%, di beberapa region kurang dari 5%. Bahkan saat ini di region Jawa-Bali cadangannya kurang dari 1%,” ungkap Ali yang juga menjadi peneliti Center for Energy Security Studies (CESS).

Dia menegaskan kondisi ini memperlihatkan bahwa ketahanan energi Indonesia betul-betul berada di titik rendah alias krisis energi. Saat ini, Jawa-Bali adalah sentra pertumbuhan ekonomi nasional.

“Walaupun ada visi dan misi pemerataan pembangunan, tak bisa dipungkiri bahwa prioritas utama pembangunan ekonomi yang harus ditopang dengan penyediaan energi (khususnya listrik) mesti tetap diprioritaskan untuk menjaga pertumbuhan nasional dan menopang visi kemakmuran bangsa,” kata dosen Universitas Binawan, Jakarta ini.

Menurut Ali, rendahnya cadangan operasional listrik, juga dapat mempengaruhi iklim investasi di Pulau Jawa dan Bali. Secara politik, Pulau Jawa adalah kunci karena 67% penduduk bermukim di Jawa. Secara ekonomi, Pulau Jawa juga kunci dengan kontribusi ekonomi sebesar 58,5% terhadap nasional.
Dalam konteks energi, dia menerangkan, Pulau Jawa juga menjadi kunci karena total konsumsi energi di Jawa mencapai 56% dari total konsumsi energi nasional. Hal serupa tentunya terjadi di sektor ketenagalistrikan, dalam hal ini Region Jawa-Bali (inter-koneksi Jawa-Bali) menjadi region kunci dari sistem kelistrikan nasional.

Dengan pertumbuhan ekonomi Jawa-Bali yang relatif stabil (rerata Jawa 5,1% dan Bali 3,1%), maka pertumbuhan pasokan listrik juga harus terjaga. Secara umum, setiap pertumbuhan ekonomi 1%, maka dibutuhkan pertumbuhan pasokan listrik minimal 1,8%, sehingga jika rerata pertumbuhan ekonomi di Jawa-Bali sebesar 5%, itu berarti dibutuhkan pertumbuhan pasokan listrik sebesar 9%.

“Kami mendorong pemerintah untuk memberikan perhatian khusus untuk masalah ini agar kekhawatiran krisis listrik tidak terjadi di Pulau Jawa dan Bali. Dampaknya sangat luas, karena bisa mempengaruhi iklim investasi dan menyurutkan industri pariwisata yang sedang ditumbuhkembangkan oleh pemerintah,” jelasnya.

Dia menambahkan, untuk menjaga reserve margin 30%, sistem kelistrikan di Pulau Jawa dan Bali membutuhkan tambahan kapasitas sekitar 7.500 MW. Itu di luar kebutuhan pertumbuhan beban dan pemenuhan daftar tunggu yang panjang sekarang ini. Merespons kondisi cadangan listrik di Pulau Jawa dan Bali, sebenarnya pemerintah telah berupaya memprioritaskan penambahan kapasitas listrik untuk Pulau Jawa dan Bali. Hal itu disebutkan dalam RUPTL 2018-2027. Namun, ketika terjadi gejolak pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang sempat menyentuh Rp 15.200/US$, pemerintah kemudian menunda proyek-proyek pembangkit listrik dengan total kapasitas mencapai 15.200 megawatt (MW).

Andy Noorsaman Sommeng, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengakui jika proyek pembangkit listrik ditunda akan memberikan efek negatif terhadap iklim investasi yang kini sedang diusahakan untuk bisa ditingkatkan.

“Begini, paling tidak RUPTL jalan terus. Kalau tidak kita akan makin volatile, uncertain (tidak pasti), kompleks dan ambigu artinya bagi para investor,” kata Andy, beberapa waktu lalu.

Menurut Andy, pada saat kondisi sekarang Indonesia butuh investasi. Ketenagalistrikan merupakan salah satu sektor penarik investasi yang masih diminati. (DR)