JAKARTA – Indonesia perlu mempercepat pengembangan lapangan minyak dan gas bumi (migas) untuk memenuhi kebutuhan domestik, karena jika pengembangan lapangan migas terus tertunda, maka diperkirakan di tahun 2042, Indonesia akan menjadi negara pengimpor net migas.

Saat ini, produksi gas alam nasional masih mampu memenuhi kebutuhan domestik, bahkan bisa diekspor ke negara lain. Namun berdasarkan hasil riset dan analisis Rystad Energy, produksi gas alam dari lapangan-lapangan yang ada sekarang diperkirakan hanya berkontribusi sebesar 35% dari total produksi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan domestik dalam 20 tahun ke depan. Sementara 65% sisanya berasal dari produksi lapangan-lapangan gas baru. “Data ini menunjukkan peran penting kegiatan eksplorasi secara masif dan pengembangan lapangan migas baru untuk menunda beban impor,” kata Sofwan Hadi, Country Head Indonesia Rystad Energy, Rabu (23/8).

Sejauh ini, beberapa lapangan gas baru sedang dalam proses pengembangan, antara lain Lapangan Andaman di lepas pantai Aceh, Lapangan Mako di kawasan Natuna, IDD Fase 2 (Gendalo dan Gendang) di Kalimantan Timur, Asap Kido Merah di Papua dan Lapangan Abadi, Masela di Maluku. Produksi gas dari lapangan-lapangan yang baru dikembangkan tersebut diproyeksikan akan memberikan kontribusi sekitar 60% bagi produksi gas nasional di 2030, dan naik menjadi 80% di 2035. Namun tanpa dibarengi penemuan cadangan baru dan pengembangan lapangan, lonjakan produksi gas nasional dikhawatirkan hanya terjadi sesaat, sebelum kemudian mengalami penurunan menjelang 2040. Padahal, volume konsumsi gas diperkirakan naik 298% pada tahun 2050 seiring target Indonesia untuk menjadi salah satu negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia. Terlebih dalam era transisi energi menuju net zero emission di 2060, peranan gas akan semakin kuat, oleh karena itu pengembangan lapangan gas harus segera di lakukan.

“Perusahaan eksplorasi dan produksi migas memegang peranan penting dalam proses pengembangan lapangan melalui percepatan FID (Final Investment Decision) mengingat mayoritas proyek yang ada masih berada pada fase penemuan cadangan (pre-FID),” kata Sofwan.

Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), gas alam mendominasi hasil kegiatan eksplorasi di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Lebih dari 50% sumur eksplorasi yang dibor menemukan cadangan gas baru, bahkan di tahun 2022 success ratio mencapai 81% dan hingga semester 1 2023 success ratio mencapai 100%. Sementara 70% dari total Plan of Development (PoD) yang diajukan merupakan pengembangan lapangan gas.

“Mengacu pada BP Outlook 2021, Reserves to Production gas Indonesia dua kali lebih besar dibanding minyak bumi. Potensi gas harus segera diproduksikan sehingga kekhawatiran potensi menjadi net importir gas di 2042 tidak terjadi, dan produksi gas terus meningkat memenuhi kebutuhan domestik hingga mampu mendukung pencapaian target net emission zero di 2060,” kata Nanang Abdul Manaf, Wakil Kepala SKK Migas.

Dari sisi salur gas, alokasi gas untuk domestik juga terus mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir. Bahkan sejak 2012, porsi salur gas bagi sektor domestik lebih besar dibanding alokasi untuk ekspor. Hingga Juni 2023, produksi gas nasional yang dialokasikan untuk domestik di tahun ini mencapai 3.636,82 BBTUD. Sementara porsi gas yang diekspor mencapai 1.960,71 BBTUD. “Pemerintah berkomitmen untuk terus memenuhi kebutuhan dalam negeri, di mana salur gas untuk domestik saat ini sudah mencapai 65%,” kata Nanang.

Percepatan pengembangan lapangan migas tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak. Guna membangun sinergi dengan para pemangku kepentingan terkait hal tersebut, SKK Migas menggelar The 4th International Convention on Indonesia Upstream Oil and Gas 2023 (ICIOG 2023) yang akan dilaksanakan di Nusa Dua, Bali pada 20-23 September 2023. Tahun ini, ICIOG mengusung tema “Advancing Energy Security Through Sustainable Oil and Gas Exploration and Development”. ICIOG 2023 diharapkan bisa menjadi wadah bagi para pelaku usaha dan pemangku kepentingan di industri hulu migas untuk mengidentifikasi isu-isu yang masih menjadi tantangan dalam mempercepat pengembangan lapangan migas, sekaligus mencari solusi dan menentukan tindak lanjut atas isu-isu yang ada. (RI)