JAKARTA – Ekspor komoditas batu bara selama ini menjadi salah satu andalan perekonomian nasional baik melalui penerimaan negara pajak dan non-pajak, devisa ekspor, penciptaan
lapangan kerja, dll. Kontribusi dari sektor industri pertambangan batu bara sangat penting dalam mendukung pemulihan ekonomi nasional. Namun dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor Dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (PP DHE SDA) menimbulkan kewajiban baru yang menambah beban eksportir.
PP yang menggantikan PP No. 1 Tahun 2019 dan akan berlaku efektif per 1 Agustus
2023 tersebut antara lain mengatur kewajiban penempatan minimal 30% dari DHE SDA ke sistem keuangan Indonesia selama paling kurang 3 bulan.

“Aturan tersebut tentu akan menyulitkan eksportir dalam mengelola arus kas (cash flow), terlebih margin yang didapatkan oleh para eksportir tidak mencapai 30% maka dengan demikian modal kerja yang sudah dikeluarkan eksportir pun akan tertahan ditengah tren penurunan harga serta semakin
meningkatnya beban biaya operasional,” kata Pandu Sjahrir, Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI – ICMA), dalam keterangan resmi Selasa(25/7).

Menurut Pandu, sejak semester 2 tahun 2022 tren harga batu bara mengalami penurunan yang tajam
sementara disisi lain biaya operasional semakin meningkat. Biaya operasional penambang batu bara di tahun 2023 diperkirakan meningkat rata-rata 20-25% akibat kenaikan biaya bahan bakar, stripping ratio yang semakin besar sehingga biaya penambangan semakin tinggi, pengaruh inflasi dll. Selain itu, kenaikan beban biaya penambang juga semakin berat dengan telah dinaikkannya tarif royalti. Tarif royalti pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) naik
dari rentang tarif 3-7% menjadi 5-13% yang diatur dalam PP No. 26 Tahun 2022 yang berlaku Agustus 2022 yang lalu.

Sementara bagi pemegang IUPK-Kelanjutan Operasi Produksi (eksPKP2B), tarif royalti tertinggi mencapai 28% yang diatur dalam PP No. 15 Tahun 2022.
Selain itu, perusahaan eksportir batu bara juga tidak dapat memaksimalkan
keuntungan dari kenaikan harga komoditas dalam 2 tahun terakhir ini akibat masih lebarnya gap/disparitas antara Harga Batubara Acuan (HBA) dengan harga jual aktual.
“Sampai saat ini sejak awal 2022, lebarnya gap antara HBA dan harga jual aktual menyebabkan perusahaan membayar kewajiban pembayaran royalti menjadi jauh lebih besar. Dengan beban semakin
tinggi sementara tren harga terus turun maka profit margin semakin tergerus jauh dibawah 30% sehingga berpengaruh terhadap modal usaha. Hal ini menambah beban eksportir yang dituntut untuk melakukan dekarbonisasi di era transisi energi sementara pendanaan (funding) untuk proyek-proyek berbasis batubara semakin sulit,” kata Pandu.

APBI-ICMA sebagai mitra Pemerintah mendukung penguatan cadangan valuta asing nasional. Perusahaan-perusahaan anggota juga telah berupaya mengikuti aturan di dalam PP No. 1 Tahun 2019. Namun kami APBI-ICMA melihat penerbitan PP 36/2023 yang mengatur kewajiban penempatan DHE SDA akan menambah beban perusahaan ditengah tren penurunan harga serta semakin meningkatnya beban biaya operasional. Hal ini akan menyulitkan perusahaan dalam mengatur arus kas untuk berbagai kebutuhan mendesak, termasuk pembayaran ke kontraktor serta para vendor lainnya.

“Sehubungan dengan hal tersebut maka kami memohon agar Pemerintah dapat
membuka ruang untuk konsultasi/diskusi dengan pelaku usaha membahas peraturan
pelaksanaan dari PP 36/2023 tersebut agar kewajiban penempatan DHESDA dapat
berlangsung dengan baik dengan tetap menjaga keberlangsungan kegiatan usaha eksportir SDA termasuk eksportir batu bara yang selama ini menjadi kontributor penting bagi perekonomian nasional,” ujar Pandu.(RA)