JAKARTA – Pemerintah menerbitkan regulasi penerapan standar kualitas modul fotovoltaik (pv) silikon kristalin yang bertujuan menjamin kualitas modul surya dan menciptakan pasar yang kompetitif.

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), mengatakan penerapan peraturan menteri ini diharapkan dapat menjamin kualitas modul surya, baik yang impor maupun lokal yang berada dan beredar dalam penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dalam negeri serta menciptakan pasar modul surya yang kompetitif dan persaingan yang sehat.

“Kami harus sama-sama memastikan bahwa penerapan Permen ini tidak menjadikan PLTS itu semakin lebih mahal secara implementasinya,” kata Dadan, Selasa (16/2).

Pemilihan PLTS, menurut Dadan, menjadi pilihan tepat sejalan dengan percepatan pengembangan EBT sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 6,5 Giga Watt (GW). Selain pemasangan yang mudah, cepat, dan bernilai ekonomis, secara teknikal penggunaan PLTS sudah teruji di beberapa negara. Kementerian ESDM telah tetapkan PLTS bakal menempati porsi terbesar dalam penyediaan bauran energi di RUPTL tahun 2021 – 2030.

“Kami sudah liat PLTS terapung dan PLTS Bali yang sedang dalam proses pembangunan, itu kan harga-harganya dibawah BPP setempat. Kami harus jaga ini dan di saat yang sama juga dipastikan bahwa kualitas juga kita pertahankan. Saya akan memastikan di EBTKE bahwa ini tidak akan mengurangi daya saing dari PLTS tersebut,” ungkap Dadan.

Saat ini ada dua lembaga jasa sertifikasi SNI produk (LSpro) yang ditetapkan untuk menguji modul PLTS, yaitu PT Qualis Indonesia dan TUV Rheinland serta satu Lab Uji B2TKE BPPT yang tengah dikoordinasikan untuk persamaan uji permen.

Dalam Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2021 terdapat kewajiban penerapan SNI IEC 61215 tahun 2016. Sementara dengan modul yang telah memiliki sertifikat SNI IEC 61215 perlu diberlakukan sertifikasi ulang atau endorsement (pengesahan).

Martha Relitha Sibarani, Koordinator Keteknikan dan Lingkungan Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Ditjen EBTKE, mengatakan pengajuan sertifikasi ini harus produsen dan importir, yaitu badan usaha yang melakukan impor modul Fotovoltaik Silikon Kristalin untuk dipasarkan didalam negeri dan merupakan perwakilan resmi dari produsen di luar negeri.

“Sebetulnya SNI IECnya itu banyak serinya, tetapi mengenai kesiapan Indonesia dari sarana pendukung misalnya lab uji kita masih membatasi pada silikon kristalin, jadi ada 3 SNI yang diwajibkan. SNI itu sifatnya sukarela jadi kalau diwajibkan maka harus dengan regulasi teknis, Permen 2 tahun 2021 adalah jenis regulasi yang bersifat regulasi teknis mewajibkan sebuah SNI” ungkap Martha .

Dia menyoroti masa transisi yang disebutkan dalam peraturan bahwa satu Modul FV yang telah dimanfaatkan sebelum peraturan berlaku dianggap telah memenuhi ketentuan dalam peraturan. Masa 12 bulan setelah peraturan diundangkan adalah masa transisi/relaksasi bagi produsen dan importir untuk melakukan sertifikasi SNI modul yang diproduksi/dijual.

“Jadi disini kami tekankan kembali bahwa modul PV harus berlisensi per tanggal 7 Januari tahun 2022. Terkait importir, jika ada yang bertanya mengapa harus perwakilan resmi dari produsen di luar negeri, itu karena perwakilan resmi ini akan menjamin kualitas modul FV,. Juga dalam hal pelayanan setelah penjualan dan sebagai pihak yang bertanggungjawab apabila ada tuntutan hukum dikemudian hari”, kata Martha.

Kemudian importir yang merupakan perwakilan resmi pabrikan di luar negeri dapat terdiri dari beberapa importir. Hal tersebut tergantung kepada pabrikan di luar negeri. Sebagai perwakilan resmi harus ada dokumen penunjukan/kerjasama dari pabrikan. “Jika terdapat beberapa importir yang merupakan perwakilan resmi, maka masing-masing importir akan mengurus/memiliki SPPT-SNI masing-masing,” kata Martha.(RI)