JAKARTA – Rencana pemerintah untuk merivisi aturan kontrak bagi hasil gross split memang dinilai cukup positif oleh berbagai kalangan. Namun ada satu kunci agar pemerintah bisa mendapatkan manfaat dari revisi gross split tersebut secara maksimal yakni menerapkan prinsip fleksibilitas.

Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Migas dari Universitas Trisakti, menjelaskan upaya pencapaian target lifting, maupun di dalam jangka panjangnya pencapaian target 1 juta Barel Per Hari (BPH) dan 12 miliar standar kubik gas per hari (BSCFD) pada 2030, yang lebih diperlukan adalah fleksibilitas untuk dapat berubah dari satu jenis kontrak ke jenis lainnya.

“Dan fleksibilitas dalam hal kemudahan untuk mengubah besaran komponen-komponen fiskal di dalam kontrak yang ada dari waktu ke waktu (subject to evaluation, negotiable untuk meningkatkan kelayakan ekonomi),” kata Pri Agung kepada Dunia Energi belum lama ini.

Menurut dia beberapa wilayah kerja migas yang sudah masuk kategori mature dan masih menjadi tulang punggung dalam pencapaian lifting migas nasional seperti diantaranya WK Mahakam, Rokan, Corridor, East Kalimantan, Offshore South East Sumatera (OSES), North West Java (ONWJ), hingga Blok Cepu pada dasarnya memerlukan insentf dalam bentuk kemudahan fleksibilitas itu.

Pri Agung menjelaskan untuk menaikkan atau sekadar menjaga tingkat produksi WK mature tersebut memerlukan upaya seperti pengembangan lapangan ataupun Enhanced Oil Recovery (EOR) yang secara teknis tetap memiliki risiko cukup tinggi.

“Dalam konteks ini, sharing risiko, sebagaimana hal itu diakomodir di dalam KBH Cost Recovery menjadi tetap relevan dan diperlukan,” ujar Pri Agung.

Sebelumnya Tutuka Ariadji, Dirjen Migas Kementerian ESDM, mengungkapkan inti dari gross split versi terbaru ini adalah penyederhanaan.

Dia menjelaskan nantinya di beleid terbaru penentuan besaran split pada variabel split-lah yang akan disederhanakan. Akan ada tiga variabel dalam menetapkan tambahan split. Pertama adalah jumlah cadangan yang terkandung, ketersediaan infrastruktur serta lokasi lapangan.

“Jadi nanti kita sederhanakan, cuma tiga, yang jelas ada cadangan, ada infrastruktur sudah ada atau ngga, dan lokasi lapangan. Jadi tiga buah itu aja. jadi nggak ada lagi CO2 dan lainnya . Jadi yang kita ganti lampirannya aja,” ungkap Tutuka.

Dia mengakui bahwa perhitungan variabel split sebelumnya harus melalui proses pambahasan yang cukup panjang antara pemerintah dan kontraktor. Hal itu tentu bisa menyita waktu sehingga tidak efisien. Padahal saat ini pemerintah sedang diburu waktu untuk segera memonetisasi cadangan yang terkandung di dalam perut bumi.

“Pada saat menentukan variabel (aturan lama/saat ini) itu kan biasanya kandungan CO2 misalnya, bagaimana cara hitungnya, kandungan ada beberapa item, bagaimana ukurnya, alatnya apa, metodologinya, banyak tuh, kompleks. itu cuma CO2, belum yang item lain. Jadi itu itu kompleks sekali,” ungkap Tutuka. (RI)