Sektor pertambangan memainkan peran penting dalam perekonomian Indonesia. Negara ini berlimpah mineral alami dan logam mulia yang telah dimanfaatkan untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi selama beberapa dekade.

Namun, seiring dengan kemajuan ekonomi, banyak perusahaan pertambangan di Indonesia masih mengadopsi pendekatan dan teknologi lama yang menghambat mereka untuk meraih potensi maksimal.

Hal ini tidak hanya membatasi daya saing karena produksi dan distribusi rantai pasokan yang tidak efisien, secara operasional juga berdampak terhadap lingkungan.

Sementara industri pertambangan masih bersiap meningkatkan teknologi, permintaan komoditas terus melonjak. Ketika ekonomi pulih dari pandemi COVID-19, permintaan terhadap sumber energi utama seperti batu bara diproyeksikan meningkat.

Permintaan terhadap tembaga dan nikel pun diperkirakan akan terus meningkat seiring pembangunan infrastruktur berkelanjutan dan desakan dekarbonisasi. Semua sumber daya ini dimiliki Indonesia, sehingga negara ini memegang peran penting dari komoditas energi global dan rantai pasokan berkelanjutan.

Seiring dunia sudah memasuki era 5G, sekarang saatnya operator pertambangan berada di garis terdepan menuju revolusi industri (Making Indonesia 4.0) dengan memanfaatkan teknologi canggih, seperti artificial intelligence (AI), internet of things (IoT), Big Data, edge computing, dan teknologi baru lainnya. Pemanfaatan teknologi tersebut akan bergantung pada kekuatan jaringan kelas industri yang disediakan oleh penyedia layanan komunikasi (CSP).

Lebih Unggul dengan Industri 4.0
Sektor pertambangan harus mengikuti pergeseran teknologi . Pada fase industri lama, penambang menggunakan alat berat untuk mengotomatisasi pekerjaan agar memperoleh keuntungan yang lebih besar dalam operasional dan meningkatkan keselamatan. Kunci pergeseran teknologi adalah digitalisasi, yang dapat menggerakkan operasi penambangan dengan lebih cerdas sehingga mampu meningkatkan produktivitas dan margin keuntungan, selain menciptakan langkah-langkah antisipatif perihal keselamatan.

Akan tetapi, pertambangan adalah industri yang masih sangat bergantung pada alat berat yang tidak dapat diganti secara digital, suatu tantangan klasik yang dihadapi oleh sektor yang bergantung pada alat berat dalam lanskap ekonomi baru. Transformasi digital yang efektif untuk operator pertambangan harus difokuskan untuk membuat operasional lebih cerdas dengan mengendalikan alat berat secara digital.

Kini, seruan untuk mendigitalisasi pertambangan mulai diterapkan. Pemerintah Indonesia mulai menerapkan machine learning dan teknologi AI di berbagai bidang, seperti pencitraan dan pengelolaan informasi geodata. Sementara Industrial Internet of Things (IIoT) juga digunakan oleh operator pertambangan batubara untuk meningkatkan produktivitas.

Namun, penerapan teknologi tersebut bergantung pada akses operator ke jaringan nirkabel industri, terutama teknologi 5G yang disebut-sebut sebagai game changer dalam industri.
Teknologi dengan kecepatan tinggi ini sangat penting untuk menyediakan jaringan yangsangat andal, tingkat latensi rendah, dan tentunya jaringan stabil yang tidak hanya menjadi modal dasar untuk memfasilitasi dan meningkatkan otomatisasi di seluruh operasi penambangan, tetapi juga melipatgandakan keberlanjutan usaha.

Pertambangan dalam Upaya Keberlanjutan
Operator pertambangan seharusnya menyeimbangkan peningkatan kinerja agar dapat memenuhi tuntutan skala ekonomi juga meminimalkan dampak buruk terhadap lingkungan.

Namun, untuk melakukannya secara efektif, operator pertambangan harus lebih maju, tak hanya mengadopsi teknologi dan pendekatan hijau secara permanen, tetapi juga menerapkan teknologi digital yang mengoptimalkan sumber daya dan mengurangi pemborosan di seluruh aktivitas operasional.
Tentunya, manfaat ekstra dari digitalisasi operasi penambangan akan berdampak luas ke industri lain.
Digitalisasi operasi penambangan akan mempercepat pembangunan infrastruktur yang diperlukan untuk mempercepat inovasi hijau. Bahan baku seperti lithium, kobalt, dan nikel diperlukan untuk membuat baterai kendaraan listrik atau sel bahan bakar, sedangkan baja dan tembaga diperlukan untuk memfasilitasi pembangunan infrastruktur yang mengelola pembangkitan dan distribusi energi matahari, angin, panas bumi dan hidrogen.

Dengan demikian, adopsi operasional pertambangan yang lebih cerdas akan berdampak pada peningkatan kemampuan industri untuk mendorong industri hijau yang maju. Hal ini akan merangsang upaya keberlanjutan yang lebih luas di berbagai sektor, baik pemerintah, masyarakat, maupun bisnis.

Peran Provider Komunikasi dalam Pertambangan 4.0
Digitalisasi yang efektif berpotensi membawa industri pertambangan lepas dari stigma tentang ketidakberlanjutan usaha (unsustainability), bahkan mendukung upaya keberlanjutan usaha secara lebih holistik. Kemajuan tersebut memerlukan jaringan berkecepatan tinggi untuk mendukung dan meningkatkan operasional yang lebih digital dan sangat kompetitif dalam menghadapi lanskap ekonomi masa depan.

Oleh karena itu, provider komunikasi (CSP) berperan untuk meningkatkan komunikasi sektor tambang dalam hal keandalan, yaitu keamanan atau mobilitas untuk mendukung inovasi dan transformasi digital.

Di saat Indonesia mempercepat adopsi pertambangan cerdas melalui penyediaan infrastruktur telekomunikasi yang lebih maju, inilah momen bagi CSP untuk menjadi katalis dalam mendorong sektor pertambangan ke era 4.0.(*)