JAKARTA – PT Adaro Energy Tbk (ADRO), emiten pertambangan batubara dengan sumber daya terbesar di Indonesia, tengah mencari pinjaman sindikasi perbankan senilai US$400 juta atau sekitar Rp5,8 triliun. Dana tersebut dialokasikan untuk membayar utang PT Adaro Indonesia, anak usaha Adaro Energy, yang jatuh tempo pertengahan tahun ini.

“Kami mencoba menjajaki pinjaman ke beberapa bank untuk refinancing pinjaman tersebut selama lima tahun ke depan,” ujar Lie Luckman, Direktur Keuangan Adaro Energy, dalam media gathering secara virtual, Kamis (19/4).

Garibaldi Thohir, Direktur Utama Adaro Energy, menambahkan bahwa respons insitusi keuangan terhadap rencana pinjaman tersebut dinilai cukup baik. Garibaldi dan Luckman tidak merinci lembaga keuangan mana saja yang sedang dijajaki. “Alhamdulillah banyak yang partispiasi, oversubscribed malah. Konsorsiumnya cukup banyak,” ujar Boy, demikian orang nomor satu di lingkungan Adaro itu disapa.

Dalam laporan keuangan Adaro 2020 (Publikasi), total utang perusahaan sebesar US$ 2,43 miliar, turun dari US$ 3,23 miliar (year-on-year). Utang jangka pendek turun dari US$ 1,23 miliar menjadi US$ 1,14 miliar. Penyebab penurunan utang jangka pendek adalah berkurangnya utang usaha dari US$ 335, 52juta menjadi US$ 214,27juta. Namun, utang royalti naik dari US$ 39,6 juta menjadi US$ 131,84 juta dan utang bank berambah dari US$ 506,06 juta menjadi US$ 587,72 juta.

Di sisi lain, utang jangka panjang juga turun dari US$ 2 miliar menjadi US$ 1,28 miliar. Penurunan terbesar dari utang pajak tangguhan dari US$ 337,2 juta menjadi US$ 225,39juta.

Kinerja Adaro dalam lima tahun terakhir juga sejatinya positif kendati fluktuatif. Pendapatan bersih sejak 2016 meroket hingga 2018 masing-masing US$ 2,5 miliar US4 3,26 miliar, dan US$ 3,6 miliar untuk kemudian turun menjadi US$ 3,46 miliar dan US$ 2,5 miliar pada 2019 dan 2020.

Penurunan tajam pada 2020 disebabkan penurunan tajam harga batu bara dan juga permintaan. Hal yang sama juga terjadi pada laba bersih (net income) yang fluktuatif dengan terendah pada 2020, yatu US$ 159 juta. Pada 2016 hingga 2019, laba bersih Adaro tercatat US$ 341 juta, US$ 536 juta, US$ 478 juta, dn US$ 435 juta. Sedangkan total utang rerata pada level US$ 2,7 miliar kendati tertinggi pada 2019 sebear US$ 3,2 miliar dan terendah tahun lalu sebesar US$ 2,43 miliar.

Sementara itu, Fitch, lembaga pemeringkat global, dalam laporannya, mempertahankan peringkat BBB- dengan outlook stabil untuk PT Adaro Indonesia (AI). Outlook Stabil mencerminkan ekspektasi Fitch Ratings bahwa profil kredit Adro akan tetap utuh dalam jangka menengah. Hal ini dengan asumsi harga komoditas global Fitch saat ini. Fitch mengekspektasikan Adaro dapat mempertahankan leverage minimal di bawah 1x selama jangka menengah dengan profil arus kas bebas yang positif bahkan tanpa mempertimbangkan fleksibilitas belanja modal perusahaan. (DR)