JAKARTA – Kelanjutan kontrak Blok North Sumatera B (NSB) yang saat ini dikelola PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, PT Pertamina Hulu Energi masih menjadi tanda tanya. Pasalnya pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum juga memutuskan operator pengelola NSB pasca berakhir kontrak pada Oktober 2018.

Kontrak NSB masih menggantung, jika sesuai dengan ketentuan Kementerian ESDM maka Blok NSB harusnya menggunakan skema gross split. Sementara wilayah NSB terletak di Aceh yang memiliki otonomi khusus sehingga memiliki badan khusus yang mengatur tata kelola sumber daya migas di wilayah yakni Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) yang menginginkan NSB tetap menggunakan skema cost recovery.

Kementerian ESDM telah memberikan perpanjangan kontrak sementara Blok NSB kepada Pertamina Hulu Energi (PHE) selama 45 hari sejak 4 Oktober lalu.

Meidawati, Direktur Utama PHE,  mengatakan Blok NSB sebagai bagian penting blok yang dikelola PHE, meskipun rata-rata produksinya tidak terlalu besar, yakni sekitar 13 juta kaki kubik per hari (mmscfd) tapi keberadaan NSB sangat strategis. PHE berminat jika dipercaya untuk melanjutkan pengelolaan di NSB, namun masih harus menunggu keputusan pemerintah.

“Kalau kami dikasih pemerintah kan perhitungan kalau gross split dan cost recovery, ya bagaimana baiknya saja lah,” kata Meidawati di Jakarta, belum lama ini.

Kontrak sementara Blok NSB pertama kali diberikan pada Oktober 2018 dan berlaku hingga 3 April 2019. Kemudian, PHE mendapatkan kontrak sementara kedua yang berlaku mulai 2 Mei 2019 hingga enam bulan ke depan.

Tumbur Perlindungan, praktisi migas dan mantan Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA) mengungkapkan bahwa melihat kondisi di lapangan skema cost recovery lebih tepat diterapkan di blok NSB.

“Mereka (PHE) itu merasa perlu ada investasi tambahan. Investasi itu kenapa menurut mereka cost recovery lebih menarik karena ketika disuruh ekplorasi pengeboran mereka juga diminta untuk dibangun infrastruktur,” kata Tumbur saat ditemui usai acara diskusi di Jakarta, Senin (21/10).

Tumbur menjelaskan permintaan masyarakat tidak sedikit. Jika tidak ditemui jalan keluar maka kegiatan operasional bisa terganggu. Di sisi lain, jika cost atau biaya terlalu tinggi untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat maka kegiatan di NSB bisa saja menjadi tidak sesuai dengan keekonomian.

“Kita ngebor di sana, kita bangun jalan di sana mereka (masyarakat aceh senang). Mereka minta tolong dibangun, di cost recovery kan karena tidak punya uang. Kalau diminta gross split orang tidak mau bangun. makanya kepentingannya berbeda,” kata Tumbur.(RI)