JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai  wacana pemberlakukan jaringan gas (jargas) satu harga untuk rumah tangga secara nasional tidak akan bisa direalisasikan dengan mudah karena banyak faktor yang harus dipertimbangkan.

Ego Syahrial, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, menegaskan rencana pemberlakuan jargas satu harga bukan isu besar yang harus segera diimplementasikan. Apalagi harga gas untuk rumah tangga saat ini sudah cukup kompetitif.

“Penyamaan harga bukan isu besar. Itu (harga) sudah dimurahkan sesuai dengan lapangan (sumber gas),” kata Ego di Kementerian ESDM Jakarta, Kamis (8/2).

Pemerintah lebih memilih fokus meningkatkan ketersediaan infrastruktur. Karena jika sudah dijadikan satu harga pun tidak akan berguna selama infrastrukturnya belum tersedia.

Menurut Ego, dalam tiga tahun terakhir  peningkatan sambungan jargas rumah tangga (SR) terus diupayakan. “Periode 2009-2014 hanya sekitar 70 ribu SR, sekarang sudah 200 ribuan SR,” kata dia.

Realisasi hingga 2017 jumlah sambungan rumah tangga (SR)  yang terpasang  baru mencapai 463.495 SR. Padahal pemerintah menargetkan ada 1,9 juta SR terpasang hingga 2019.

Untuk tahun ini saja alokasi anggaran yang ada mampu membiayai pembangunan jargas untuk 77.880 SR.

Pemerintah juga kembali menugaskan badan usaha milik negara, PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) untuk membangun jargas di tujuh wilayah kota dan kabupaten.

Pertamina ditugaskan membangun jargas rumah tangga beserta infrastruktur pendukungnya di Kabupaten Musi Rawas dan Kabupaten Penajam Paser Utara. PGN mendapat tugas di Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serang, Kota Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo.

“Sekitar Rp850 miliar (dianggarkan), kan ada sambungan lain dan ada yang beda daerah, operasi crossing jembatan. Tahun ini harus jadi,” tegas Ego.

Mamit Setiawan Direktur Eksekutif Energy Watch, mengungkapkan ide jargas satu harga cukup baik, namun ide tersebut sulit diimplementasikan lantaran harga gas dari hulu juga berbeda. Otomatis akan mempengaruhi harga hingga konsumen.

Jika mau jargas satu harga diimplementasikan, pemerintah harus bisa memastikan harga gas di hulu tidak tinggi.

“Yang pasti adalah harga di sektor hulu yang kompetitif dan bisa memberikan keuntungan pada perusahaan penyalur jargas, sehingga mereka tidak merugi,” ujar Mamit kepada Dunia Energi.

Menurut Mamit, pelaku usaha pasti  mempertimbangkan investasi yang dilakukan untuk membangun jaringan gas baru atau dalam melakukan perawatan. “Perusahaan pasti akan berhitung antara investasi dengan profit mereka,” kata Mamit.

Rencana penerapan jargas satu harga pertama kali dilontarkan Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) agar jargas juga meniru program BBM satu harga secara nasional.

Jugi Prajogio, Anggota Komite BPH Migas, mengungkapkan rencana tersebut memang terlihat menambah beban bagi para pelaku usaha, namun  badan usaha juga bisa menggunakan mekanisme subsidi silang untuk menutupi beban biaya di wilayah lain.

Dalam usulan tersebut harga gas rumah tangga nantinya tidak akan lebih dari harga LPG 3kg yang beredar di pasaran dengan tetap memberikan margin keuntungan, sehingga badan usaha mau mengembangkan jargas kota  yang telah terbangun. Karena jargas tidak akan berkembang jika hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Menurut Jugi, penetapan harga yang tepat diharapkan bisa menjadi stimulus bagi pelaku usaha untuk melakukan pengembangan jaringan tanpa harus mengandalkan dana dari pemerintah.

“Kalau semua dari APBN ini enggak akan berkembang lebih jauh. Jadi ada kombinasi antara perusahaan dan APBN. Saya minta nanti kedepan PGN dan Pertagas menggunakan dana sendiri untuk menambah jumlah jaringan,” kata Jugi.(RI)